Begini Kesaksian Warga Cipancar Sumedang, Dikala Gentingnya Pemberontakan DI/TII

Didi 84 tahun warga RW 07 RT 01 Dusun Sagara Manik Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang, saksi mata kekejaman DI/TII

INISUMEDANG.COM – Begitu mencekamnya waktu jaman pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau (DI/TII) atau yang dikenal dengan nama Gerombolan. Pemberontakan DI/TII merupakan salah satu pemberontakan tersulit yang pernah terjadi di sejumlah daerah di Indonesia termasuk di Sumedang, salah satunya wilayah Cipancar dengan Kecamatan Cibugel.

Didi 84 tahun warga RW 07 RT 01 Dusun Sagara Manik Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang. Adalah salah satu saksi hidup yang pernah mengalami masa masa sulit ketika pemberontakan DI/TII kala itu sedang merajalela. Merampok, intimidasi, penyiksaan, pembunuhan serta pemerkosaan.

“Waktu jaman itu, kalau tidak salah tahun 1952 saya juga sudah berumur 25 tahun kurang lebih. Jadi sangat tahu dan jelas terlihat kekejaman pemberontakan DI/TII. Sebelum adanya pagar betis, warga disini dulu sangat tersiksa, kalau malam, geromobolan itu turun gunung masuk ke perkampungan kami, tiap rumah digedor dan dimintai makanan dan lain lainnya,” tutur Didi mengisahkan kepada IniSumedang.Com Selasa malam 7 Juni 2022 di kediamannya.

Ketika meminta sesuatu ke warga, lanjut Didi, dipastikan warga akan memberinya karena kalau tidak diberi, akan disiksa. Bahkan lebih jauhnya terancam dibunuh.

Ini Baca Juga :  Museum Ullen Sentalu: Memperdalam Pengetahuan Budaya Jawa di Yogyakarta

Membawa Senjata Otomatis

Gerombolan DI/TII itu, sambung Didi, selalu membawa senjata otomatis lebih canggih dari pasukan TNI. Dan ketika apa yang diinginkannya sudah merasa cukup, maka mereka akan masuk kembali ke hutan.

“Suasana dulu belum ada listrik di tiap rumah, hanya mengandalkan lentera saja, setiap kali punya makanan tidak pernah cukup untuk keluarga, karena setiap kali terkumpul makanan, gerombolan datang mengambilnya. Tidak diberikan penyiksaan pasti dilakukan, belum lagi moncong senjata nempel di jidat,” tuturnya sambil menghela napas.

Pernah ada kejadian, kata Didi, salah satu warga ada hajatan dan malam harinya hiburan Penca Silat. Namun, secara tiba-tiba salah satu warga langsung terkapar karena gerombolan DI/TII menembak dari jarak jauh di dalam hutan. Sontak semua kaget, dan waktu itu juga langsung bubar menyelamatkan diri masing masing.

“Selain itu juga, tetangga kampung kami, salah satu pemuda bertemu gerombolan DI/TII dan ditanya, “kamu siapa dan dari mana?,” Tanya DI, jawab pemuda,”Saya orang sini dan saya dari OKD, ” Jawab Pemuda tersebut. Setelah pemuda itu menjawab bahwa dari OKD, diluar dugaan pemuda itu di tangkap dan langsung dig0rok lehernya,” terangnya.

Ini Baca Juga :  Jembatan Merdeka: Wisata Penuh Sejarah di Wilayah Kalimantan Selatan

Membasmi DI/TII dengan Pagar Betis

Didi menuturkan, OKD adalah organisasi kepemudaan waktu itu, dan OKD juga merupakan salah satu organisasi yang eksis memerangi gerombolan DI/TII bersama sama dengan TNI. Kekejaman gerombolan DI/TII benar-benar membuat ketar ketir masyarakat, dan akhirnya Pemerintah Indonesia langsung membasmi DI/TII dengan cara pagar betis.

“Setelah adanya pagar betis, gerombolan DI/TII secara perlahan terpojokan, karena tidak ada ruang lagi untuk keluar. Ketika keluar dari hutan pun akan langsung tertangkap, masuk ke perkampungan warga pun tidak akan bisa tembus karena setiap jalan sudah dibentengi oleh TNI dan warga, dan pada akhirnya gerombolan DI/TII gembongnya tertangkap,” ungkapnya.

Pernah kejadian malam itu, kata Didi melanjutkan kisahnya, dirinya memukul bedug yang ada di Mesjid. Ternyata, tahu-tahu di belakang tangannya ada yang menahan, ketika dilirik dikira TNI, nyatanya adalah gerombolan DI/TII yang sama percis menggunakan seragam loreng.

Ini Baca Juga :  Wisata Nusantara Mempawah, Pontianak: Rekreasi Seru dan Nyaman di Kalimantan Barat

“Saya sangat kaget dan takut, semua orang yang ada di luar mesjid langsung di suruh masuk ke mesjid oleh DI itu. Saat itu mereka ceramah sekaligus mengajak masyarakat untuk berjihad bersama sama mendirikan syariat Islam dan Negara Islam. Semua warga menunduk termasuk saya sendiri, dan saya berfikir, berjihad tapi tidak mencerminkan ajaran Agam Islam,” tutur Didi.

Setelah mereka (DI/TII) ceramah di mesjid dan mengajak warga untuk berjihad dan bergabung dengan meraka, tambah Didi. Lalu gerombolan DI/TII masuk kembali ke hutan, semua warga hanya berdiam saja, mengiyakan kata mereka waktu itu.

“Tidak bisa di bayangkan, kalau tidak dituruti keinginannya, pasti semua warga itu dibunuh ataupun disiksa, seperti yang terjadi di daerah Cibugel, masyarakat sembunyi di parit menghindar dari gerombolan, ketika diketahui persembunyian warga, pasukan DI/TII bukannya menyuruh keluar dari parit malah memasukkan bensin ke lubang itu dan membakarnya,” pungkas Didin mengakhiri ceritanya.