INISUMEDANG.COM – Pantrangan atau larangan di suatu daerah, memang hingga kini masih menjadi misteri dan masih banyak masyarakat yang mempercayainya.
Hal yang wajar bila masyarakat masih mempercayainya, karena pantrangan sudah dipercaya secara turun temurun hingga saat ini.
Seperti di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang. Salah satu Desa yang terkenal dengan larangannya menyebutkan nama Ucing (Bahasa Sunda dari Kucing).
Untuk menyebut Kucing, masyarakat Desa Cipancar lebih memilih menggantinya dengan sebutan Enyeng. Pasalnya, bila berani menyebut nama Kucing maka sesuatu hal buruk dipercaya akan menimpa siapa saja yang berani menyebutkannya.
Rupanya tak hanya larangan menyebutkan nama Kucing. Warga Desa Cipancar juga ternyata pantrang atau tidak diperbolehkan memukul Gong.
Menurut sejarah, pada jaman dahulu ada pertunjukan Ronggeng di Desa Cipancar tepatnya di Ciheas. Dan setelah pertunjukan, seorang pemain ronggeng itu hilang dibawa ke alam lain saat hendak akan pulang. Hal ini karena, pemain Ronggeng itu melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh Karuhun atau Leluhur.
Pantrangan Nyebut Kucing dan Memukul Gong Berawal Dari Jaman Dulu
Seperti yang diceritakan oleh
Nacih, salah seorang warga Dusun Sagaramanik Desa Cipancar yang kini usianya sudah menginjak 86 tahun. Bahwa, sejarah tentang dilarangnya menyebutkan kata kucing, dan dilarang memukul gong berawal dari jaman dahulu.
“Ceuk kolot baheula atau sepuhna nene, karuhun di desa cipancar sangat “caduk” di cipancar nabeuh gong, khususnya gong perunggu. (Kata orang tua dulu atau sesepuh Nene, Karuhun atau leluhur sangat pantrang memukul gong, khususnya gong perunggu,”
Kata Nacih menceritakan sejarah kepada IniSumedang.Com, Selasa 23 Agustus 2022.
Alasan tidak boleh memukul gong di Cipancar, lanjut Nacih. Yaitu berawal dari salah seorang warga yang mengadakan acara doger, jika dalam bahasa sekarang adalah organ.
Tiba-tiba, lanjut Nacih bercerita, ada Kesatria tampan tiada tara yang meminjam ronggeng tersebut dengan alat-alatnya seperti gamelan dan sebagainya atau yang disebut Panayagan.
“Pria itu membawa Panayagan ke Ciheas (Cipancar sekarang) yang awalnya dari gunung gelung. Kemudian setelah acara doger dilakukan di Ciheas saat hendak pulang tiba tiba ronggeng tersebut tilem atau hilang di salah satu jembatan yang kini jembatan itu di percaya angker oleh masyarakat,” tutur Nacih yang masih tampak sehat walau umurnya mencapai 89 itu.
Menurut warga setempat, kata Nacih, di jembatan tersebut hingga kini banyak warga yang sering mendengar suara gong dan suara lain walaupun sepintas.
“Jadi setelah kejadian tersebut karuhun yang ada di desa Cipancar pantrang untuk nabeuh atau memainkan alat musik yang menggunakan gong perunggu. Karena pada jaman dahulu banyak kejadian yang dinilai aneh saat akan melaksanakan acara adat/organ dengan menggunakan gong perunggu,” ungkap Nacih.
“Bahkan sering terjadi hal-hal aneh, seperti tiba-tiba gong terbelah. Dan jika ada yang melanggar hal tersebut kata sepuh akan selalu ada malapetaka yang terjadi, salah satunya seperti hujan badai,” ujar Nacih.