INISUMEDANG.COM – Bagi Warga Sumedang, mungkin belum banyak yang tahu, kalau kampung pertama sekaligus kampung tertua yang ada di Sumedang.
Kampung yang saat ini sudah menjadi Nama Desa, disebut-sebut memiliki umur lebih tua dari umur Kabupaten Sumedang sendiri.
Mau tahu bagaimana kisah dan dimana letaknya? Simak Yuk ceritanya. Kampung pertama di Sumedang itu bernama Desa Cipancar yang terletak di wilayah Kecamatan Sumedang Selatan.
Dilansir dari akun YouTube Skay dankel yang diunggah pada 6 Oktober 2020 lalu dengan Judul Asal usul Perkampungan Pertama di Sumedang.
Lokasinya terletak di bagian timur wilayah Kecamatan Sumedang Selatan dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Ganeas.
Terkait dengan nama tersebut, Cipancar merupakan salah satu kampung pertama sekaligus tertua (buhun) di Sumedang yang berdiri disekitar abad 7-8 Masehi, sehingga umurnya lebih tua dari Kabupaten Sumedang sendiri.
Pada saat itu, di Cipancar memang sudah ada sedikit penghuni atau warga. Namun, kampung itu belum memiliki nama.
Asal Mula Nama Cipancar
Kebetulan saat pertama kali Purbasara menginjakkan kaki di daerah itu, muncul air yang entah dari mana mengalir dengan deras. Dengan spontan Purbasora berkata “Cipancar, Cipancar” yang berarti air yang memancar.
Sebutan itulah yang hingga kini melekat dan menjadi nama Desa Cipancar. Waktu itu, Purbasora dan ketiga anaknya menanami Cipancar padi dengan benih padi yang dibawa dari Galuh Pakuwon.
Hasil panen itu, dibagikan kepada masyarakat, tempatnya pembagian disebut dengan Baginda.
Perkampungan yang belakangan dinamai Desa Cipancar itu, terjadi saat perebutan tahta Galuh Pakuwon di Garut kala itu.
Saat sang Raja hendak menurunkan tahta kepada sang anak bernama Purbasora, terjadilah perebutan kudeta atau kekuasaan antara keluarga.
Akibatnya, terjadi peperangan saudara yang berujung terdesaknya Purbasora, akhirnya Purbasora bersama ketiga anaknya yang bernama Prabu Wijaya Kusumah, Wiradi Kusumah (Sunan Pameres) dan Ratu Komalasari (Sunan Pancer) serta Jaksa Wiragati harus lari meninggalkan Kerajaan Galuh yang tengah kacau.
Pada saat itu, mereka lari tanpa tujuan, waktu itu yang mereka pikirkan bagaimana mereka bisa selamat dari kekacauan yang terjadi di kerajaan. Hingga sampai lah mereka ke tempat yang kini bernama Cipancar tersebut.
Maka dari itu, kita mengakui bahwa terbentuknya Desa Cipancar sangat erat kaitannya dengan Kudeta yang terjadi di Galuh Pakuwon.
Nama Cipancar sendiri, diambil dari perkataan Purbasora yang berarti cai mancer atau air memancar. Dan mata air itu masih hingga sekarang di lingkungan makam Eyang Tajur atau Suta ngumbar putra Prabu Siliwangi atau Surya Kencana.
Larangan dan Pantrangan di Desa Cipancar
Di Cipancar Tidak Boleh Menyebut Binatang Kucing Dengan Kata Ucing dan Dilarang Menggelar Wayang Golek
Seni dan budaya di Desa Cipancar, hingga saat ini masih tersimpan beberapa jenis seperti calung dan tarian. Namun, terkait itu juga ada beberapa mitos yang berkaitan dengan budaya di Desa Cipancar tersebut, yaitu terkait nama binatang.
Di Desa Cipancar ada larangan menyebut nama Ucing atau Kucing, dan sebagai gantinya bisa digunakan dengan nama Enyeng. Selain tidak boleh memanggil nama Ucing, warga Desa Cipancar juga tidak boleh mempelgelarkan seni wayang golek dan menabuh Goong (Gong).
Larangan mempertunjukkan wayang juga seperti halnya di wilayah Cipaku Kecamatan Darmaraja, dikarenakan didalam buku Pakuning Alam Darmaraja, tercatat merupakan amanat Buyut atau pantrangan. Yaitu, Di Darmaraja teu kenging nanggap Wayang, Sabab nu bakal ngawayangkeunana GALAH, GALUH jeng GALUHNA. Lamun aya umat nu maksa, teu nurut pepeling kami, harta badana kudu ancur, badana tangtu sangsara di CIKEUSI, di CIMARGA, di PANIIS, di CIPAKU teu menang nanggap Wayang sanajan nepi ka ahir.
Ratu Komalasari atau sunan Pancer adalah Ibu dari Prabu Aji Putih yang merupakan trah ke Kerajaan Tembong Agung dan Sumedang Larang.
Prabu Aji Putih merupakan Raja Tembong Agung Pertama
Berdasarkan sejarah Cipancar, Ratu Komalasari bin Purbasora Bin Sempakwaja bin Wretinkendanyun (Eyang istri Sunan Pancer) Isterinya Aria Bunaraksa Atau Aria Bimaraksa (Resi Agung) yang menjadi Raja Tembong Agung pertama yaitu Prabu Aji Putih yang merupakan keturunan Kerajaan Sumedang Larang.
Serta berdasarkan buku cerita yang turun temurun, menjelaskan Prabu Aji Putih semasa kecilnya di Seger manik dahulu atau Cipancar bersama orang tuanya yaitu Ratu Komalasari dan Aria Bimaraksa, cuma sebelum berdiri kerajaan Tembong Agung, lalu Aria Bimaraksa atau Resi Agung bersama putranya meninggalkan Cipancar dan mulai mendirikan padepokan di Citembong Girang Kecamatan Ganeas, lalu mendirikan Bagala Asri Panyimpuhan di Kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja yang merekrut bala tentara dari para Resi di tatar Sunda, sehingga akhirnya berdiri kerajaan Tembong Agung.
Sedangkan Ibunya Prabu Aji Putih atau Ratu Komalasari dan Wanya Wirahadikusumah tetap mengurus Padepokan di Cipancar dan tidak ikut campur urusan kerajaan dimasa Tembong Agung atau di Darmaraja.
Disebelah kanan kiri dan atas makam Ibu Ratu Sunan Pancer Buana atau Ratu Komalasari
bin Purbasora Bin Sempakwaja bin Wretinkendanyun (Eyang istri Sunan Pancer) ada makam kakaknya Wirahadikusumah bin Purbasora Bin Sempakwaja bin Wretinkendanyun dan para Pandeganya yang nama namanya tidak diketahui dengan jelas.
Pemakaman Umum Desa Cipancar dulunya Sebagai Tempat Padepokan
Menurut cerita turun temurun, Desa Cipancar yang sekarang dipakai pemakaman umum Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, pada jamannya merupakan tempat Paguron atau Padepokan tempat melatih Ilmu Kanuragan. Sebab, ada beberapa batu tapak kaki yang berada di pemakaman umum Desa Cipancar tersebut.
Runtuyan Getih Moal bisa Robah, Runtuyan Elmu Pangaweruh Anak-Incu Bisa Robah-robah.
TUTUNGGUL HIJI
simbul Elmu Luluhur Kapungkur Lain, Sumbuh-sembah kana Batu Tapi Simbul-Siloka ditunda dina TUTUNGGUL HIJI Bacaeun!,
Hartikeuneun anak-incu,
Papat Kalima Pancer,
Elmuna Masagi, Teteg-Panceg, Sa-Aji, Sa-Pangarti
dina Enggoning Ngabdi Ka Gusti Nu Maha Suci, Sampurna Mulih Ka Jati Mulang Ka Asal.
Rahayu Dina Nata Manggalana (cageurna),
Yudhamangglana (benerna),
Hastamanggalana (bageurna),
Suramanggalana (pinterna)
dina Tangtungan Insun Medalna.