INISUMEDANG.COM – Kondisi Makam Mantan Bupati Bandung, R.A.A Martanagara yang berasal dari keturunan Bangsawan Sumedang, kini kondisinya sangat mengkhawatirkan
R.A.A Martanagara menjadi
Bupati Bandung periode tahun 1893 hingga1918. Pasca meninggal dunia, sangat disayangkan, jarang sekali dan hampir tidak ada pejabat dari Bandung yang berziarah ke makam beliau. Yang berada di Area Pemakaman Gunung Puyuh Desa Sukajaya Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.
Juru Pelihara Gunung Puyuh tempat dimakamkan nya R.A.A Martanagara, R. Deni Sumadilaga mengatakan, kondisi makam Mantan Bupati Bandung R.A.A Martanagara atap makamnya nyaris roboh dan sangat mengkhawatirkan. Dan memang hampir tidak ada yang datang sekedar berziarah dari pejabat Bandung.
“Memang hampir tidak ada yang datang ke makamnya R.A.A Martanagara yang pernah menjabat Bupati Bandung tersebut. Dulu itu hanya ada satu Kabupaten Bandung saja. Namun, sangat miris sekali, makam yang terlupakan dan luput dari perhatian para pejabat di Bandung,” ungkap Deni saat ditemui di kediamannya, Jumat 4 Maret 2022.
Tidak Ada Yang Berziarah, Makam Mantan Bupati Bandung Sangat Mengkhawatirkan
Kondisi makamnya sekarang, sambung Deni, atap makamnya nyaris roboh sangat tidak elok makam mantan Bupati Bandung kondisinya seperti itu.
“Hal ini, saya pernah ungkapkan ke pejabat yang ada di Bandung. Katanya iya mau dirawat dan mau singgah. Tapi sampai saat ini, tidak ada yang datang. Padahal, nama R.A.A Martanagara sudah dijadikan nama jalan di Bandung setidaknya ingatlah jasa jasanya dan dihargai, lebih jauhnya tapak tilas ke makamnya untuk berziarah,” tandasnya.
Sementara, Pupuhu Kampung Buhun, R. Sopian Apandi menerangkan sejarah R.A.A Martanagara adalah Bupati Bandung tahun 1893-1918 lahir tanggal 9 Februari 1845.
Tidak seperti halnya dengan Bupati Bandung lain yang berasal dari keturunan Menak Bandung, beliau berasal dari keturunan bangsawan Sumedang.
“Dari pihak ayah, ia adalah cicit dari Bupati Sumedang Pangeran Kornel (1792-1828), beliau adalah Putra dari Raden Koesoemahjoeda yang menjadi Camat Cibeureum dan sebelum menjadi Bupati Bandung, Akeh (Martanagara) menjabat sebagai Camat, Patih Afedeling Mangunreja dan Patih Sumedang pada masa Kabupatian Pangeran Aria Soeria Atmadja (Pangeran Mekkah),” ujar Sopian.
Pengangkatan beliau sebagai Bupati Bandung tidak berjalan mulus, kata Sopian, di awal pelantikannya sebagai Bupati, beliau harus menghadapi upaya perlawanan dari kaum bangsawan Bandung yang tidak setuju terhadap pengangkatan dirinya.
“Contohnya adalah peledakkan jembatan Cikapundung saat syukuran pelantikan dirinya dan upaya pembunuhan yang akan dilakukan terhadap dirinya yang akan dilakukan dengan cara meledakkan dinamit yang disimpan dalam kereta yang ditumpanginya,” kata Sopian.
Upaya teror ini gagal dilaksanakan, sambung Sopian, dan setelah dilakukan razia serta penyelidikan oleh pasukan Kebupatian, maka ditemukan 10 orang yang terlibat dalam rencana pembunuhan itu, 4 diantaranya bangsawan Bandung yang salah satunya adalah R.R. Somanegara, ayah dari R. Dewi Sartika.
“Gubernur Jenderal menghukum mereka dengan hukuman pengasingan, kurungan 20 tahun dan kerja rodi. Walau bukan berasal dari trah Bandung, ternyata beliau berhasil memberi andil cukup besar dalam membangun Bandung menjadi kota Modern,” ungkap Sopian.
R.A.A Martanagara Menerima Penghargaan Bintang Emas
Masih kata Sopian, beliau yang masa kecilnya pernah diasuh oleh Pelukis Raden Saleh dan mengecap pendidikan Ambachtschool (Teknik) memang memiliki pemikiran pemikiran yang modern.
“Beberapa tindakan beliau dalam pembangunan Bandung diantaranya adalah pengerasan jalan-jalan di Bandung dengan bebatuan, pembangunan fisik, pembenahan jalan Braga menjadi kawasan komersial, dan Groote Postweg sebagai kawasan perkantoran perusahaan-perusahaan Belanda
Beragam penghargaan pernah ia terima ketika menjabat sebagai bupati,” paparnya.
Pada tahun 1900 penghargaan bintang emas R.A.A Martanagara terima dari pemerintah kolonial. Tahun 1906 memperoleh gelar adipati. Tahun 1909 ia mendapatkan penghargaan tertinggi, yaitu payung emas (golden parasol) dari pemerintah.
“R.A.A Martanegara juga mendapat gelar kehormatan dari Raja Siam, Officer of the Order of the Crown of Siam. Program-program lain pun tak kalah revolusioner. Martanagara mengisi kas daerah dengan menginstruksikan penanaman singkong besar-besaran, karena singkong saat itu sedang laku di pasaran dunia,” ucap Sopian.
Hasil kas digunakan untuk program-program lain, lanjut Sopian, seperti memperluas area persawahan plus memperbaiki sistem irigasi.
Martanegara bahkan mengungkapkan, bahwa tanah akan lebih berguna jika ditanami dibandingkan dengan diurug untuk dijadikan perumahan.
Pesawahan Makin Meluas Pada Masa Martanagara
“Sedangkan program irigasi diwujudkan lewat mega proyek irigasi Cihea, yang menghabiskan satu juta gulden. Mungkin hanya pada masa Martanagara lah luas daerah persawahan tidak berkurang seiring majunya perekonomian sebuah kota, melainkan makin meluas,” Ujar Sopian.
Disebutkan Sopian, pada tahun 1896 luas areal persawahan mencapai 800.000 bau. Dan ketika tahun 1912 mencapai 1.000.000 bau. Pembangunan prasarana publik pun tidak terlupa. Untuk mempermudah akses keluar masuk daerah, ia membangun jembatan (jembatan bambu) di beberapa sungai besar di sekitar Bandung.
“Dalam waktu singkat telah dibangun lima buah jembatan di aliran Citarum; yang menghubungkan Cicalengka – Majalaya, Ujungberung – Ciparay, Dayeuhkolot – Banjaran, Cimahi-Kopo, dan yang terakhir menghubungkan Rajamandala dan Cihea. Dimana arus lalu lintas dari dan ke Batavia serta Bogor berhasil dipersingkat,” Sebut Sopian.
Bahkan ketika pejabat kolonial meninjau proyek-proyek ini, kata Sopian melanjutkan, disangkanya Martanagara adalah seorang insinyur teknik lulusan Belanda. Dua tahun kemudian, kelima jembatan bambu ini sudah diganti dengan yang berbahan besi.
“Martanagara pun berhasil membangun irigasi beberapa taman di Bandung seperti Taman Merdeka (Pieterspark), Taman Nusantara (Insulindepark), Taman Maluku (Molukenpark), dan Taman Ganesha (Ijzermanpark),” Kata Sopian.
Lebih Jauh Sopian mengatakan, peninggalan R.A.A. Martanagara yang sampai dengan saat ini masih dirasakan oleh ASN di seluruh Indonesia adalah Jabatan Camat juga sebagai PPATS (Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara), karena beliau adalah satu-satunya pejabat (Ambtenaar) dari pribumi yang lulus sekolah teknik pengukuran (Surveyor Kadastral).
Dua Karya Fenomenal Bagi Sumedang, Yaitu Wawacan Babad Sumedang dan Silsilah Sumedang
“Dan pada tahun 1870 pernah menjabat sebagai Asissten Kadaster dari Komisaris Otto Van Rees yang mengubah Preanger Stelsel menjadi Preanger Reorganisatie. Sebagai penghargaan dari Pemerintah Belanda, maka Jabatan Camat diberi juga Jabatan PPATS untuk membantu Governemen dalam hal kadastral,” tutur Sopian.
Selain itu, lanjut Sopian, beliau juga meninggalkan 2 karya fenomenal bagi Sumedang, yaitu Wawacan Babad Sumedang dan Silsilah Sumedang yang merupakan hasil pemikiran dan tulisan beliau.
“Setelah pensiun dari Bupati Bandung, beliau sering membantu pengelolaan Perkebunan teh di Jatinangor dan menghabiskan masa tua di rumahnya di Burujul, atau sekarang lebih terkenal dengan Wisma Gending Lingkungan Gending. R. A. A. Martanagara meninggal tahun 1926 dan di makamkan di Gunung Puyuh Sumedang,” ujar Sopain mengakhiri sejarah singkat R.A.A Martadinata.