INISUMEDANG.COM – Sejumlah mahasiswa se-Kabupaten Sumedang yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Sumedang berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumedang. Menolak disahkannya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (RUU KUHP) yang telah disahkan pada Selasa 6 Desember 2022.
Koordinator Aksi Ridwan Marwansyah mengatakan. Mahasiswa menolak RUU KUHP karena hal ini menjadi keputusan yang dirasa cacat. Sebab masih banyak pasal di dalam RKUHP yang bermasalah dan tidak mengalami perubahan yang berarti.
Sejarah penolakan RKUHP sendiri telah dilakukan sejak DPR dan Pemerintah hendak melakukan pengesahan di tahun 2019. Akan tetapi, pengesahan pada tahun 2019 ditunda, sebab Presiden menginstruksikan untuk melakukan pembahasan kembali.
“Setelah masa pembahasan yang diinstruksikan oleh Presiden dari tahun 2019-2022. Tidak banyak pasal-pasal yang mengalami perubahan atau pencabutan ketika kabar pengesahan RKUHP kembali muncul di tahun 2022,” ujarnya.
Lanjut dia, di tahun 2022, DPR serta Pemerintah pertama kali mengeluarkan draf pada bulan Juli 2022. Akan tetapi, draf tersebut juga tidak memberikan gambaran dekolonialisasi yang dicita-citakan oleh RKUHP.
“Selama Juli-November 2022, berbagai elemen masyarakat kembali menyuarakan penolakan atas pasal-pasal yang masih bermasalah dalam RKUHP. Selama itu pula, DPR dan Pemerintah berupaya melakukan sosialisasi mengenai RKHUP,” paparnya.
Partisipasi Publik Palsu
Akan tetapi, sosialisasi tersebut ternyata hanya menjadi formalitas semata demi validasi adanya partisipasi publik palsu. Mengingat baik Pemerintah maupun DPR tidak menampung kritik dan saran yang diberikan oleh elemen masyarakat untuk menghapus pasal-pasal bermasalah.
“Lalu, untuk apa sosialisasi dilakukan jika pada akhirnya pemerintah dan DPR hanya menjadikannya alat untuk memaksa masyarakat menerima pasal-pasal bermasalah di RKUHP?. Berdasarkan beberapa keresahan tersebut, beberapa komite aksi di Sumedang terus melakukan penolakan melalui beberapa diskusi, audiensi, dan aksi massa. Ataupun simbolik kepada pihak DPRD Kabupaten Sumedang. Dengan harapan akan ada timbal balik positif dari pihak DPRD Kabupaten Sumedang dalam memperjuangkan visi yang diemban oleh RKUHP ini,” ujarnya.
Meski demikian, pihaknya tidak melihat bahwa ada timbal balik positif yang konkrit dari pihak DPRD Kabupaten Sumedang terhadap isu RKUHP ini. Ditambah lagi, DPR dan Pemerintah tutup mata dan telinga terhadap masukan masyarakat. Dan justru mengesahkan draf RKUHP pada 6 Desember 2022.
Dalam draf RKUHP terbaru, DPR dan pemerintah pun masih tidak mengakomodasi usulan pencabutan beberapa pasal warisan kolonial. Hal ini menunjukan bahwa pengesahan RKUHP yang dilakukan pada 6 Desember 2022. Bukanlah langkah yang tepat, mengingat KUHP sebagai sumber hukum pidana di Indonesia tidak dapat disahkan dengan sewenang-wenang dan terburu-buru dengan adanya permasalahan di dalamnya.
“Berdasarkan uraian di atas, kami mahasiswa Se-Kabupaten Sumedang menyatakan sikap untuk menolak pengesahan RKUHP pada 6 Desember 2022. DPR dan pemerintah harus bisa menunjukan bahwa KUHP yang baru harus menjadi sumber hukum pidana yang mendekolonialisasi KUHP yang lama, memberikan kepastian hukum, menjamin penghormatan atas hak asasi manusia, serta membuka ruang partisipasi yang bermakna di dalam perumusannya,” tegasnya.
DPR dan Pemerintah, lanjut Ridwan juga tidak dapat mengesahkan KUHP hanya karena dikejar waktu semata. Padahal masih banyak penolakan, kritik, dan masukan yang diberikan oleh berbagai elemen masyarakat.