Banner Iklan bjb

Wabah Difteri di Garut Bikin Heboh, Warga Bandung Diminta Perhatikan Ciri-ciri Ini

Wabah Difteri
Wabah Difteri di Garut Bikin Heboh (Ilustrasi/Pixabay)

BANDUNG – Wabah difteri di Garut mendadak menjadi buah bibir sejumlah pihak. Saking hebohnya kabar itu, Dinas Kesehatan meminta warga Bandung untuk turut memperhatikan soal ciri-cirinya.

Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Bandung Ira Dewi Jani menyebut bila difteri merupakan penyakit menular yang bisa disebabkan oleh bakteri Corynebacterium.

Mengenai wabah difteri di Garut yang memakan 8 korban jiwa hingga pemerintah setempat menetapkan menjadi kejadian luar biasa atau KLB, Ira pun turut menyinggung bila virus itu penularannya mirip Covid-19.

“Penularan difteri yakni melalui droplet (air liur) saat berbicara, bersin, ataupun batuk. Sehingga hal terpenting yang harus dilakukan adalah mencegah difteri menjadi wabah di Bandung,” ungkap Ira.

Menurut Ira, imunisasi dapat mencegah virusnya bermanifestasi seperti wabah difteri di Garut. Sehingga meski potensi tertular itu tetap ada tapi tidak menimbulkan manifestasi klinis saat tertular tidak hingga komplikasi kematian.

Selain itu, hal penting lainnya untuk masyarakat adalah cara mendeteksi gejalanya sedini mungkin. Meski menurutnya, bagi masyarakat umum memang agak sulit untuk mendeteksi karena gejala atau keluhan yang dialami pasien.

Ira menyampaikan, keluhan yang bergejala virus ini bisa beragam, seperti bisa ada demam, bisa juga tidak. Namun, ada juga gejala lain seperti nyeri menelan, sesak nafas, dan batuk pilek.

Kuman Difteri

“Gejala-gejala tersebut karena kuman difteri membentuk selaput berwarna abu keputihan di tenggorokan pasien. Itu yang menyebabkan sakit tenggorokan dan jika sudah parah bisa mengganggu pernafasan, atau berliur terus,” tuturnya.

Ira mengatakan jika sudah menemui gejala tersebut, sebaiknya pasien langsung dibawa ke faskes terdekat. Sebab masyarakat umum biasanya sulit menentukan apakah ini benar karena difteri atau bukan.

“Bila dibawa ke faskes, nantinya tenaga kesehatan yang akan menentukan itu difteri atau bukan. Sebab untuk mendiagnosa secara pasti memerlukan pemeriksaan kultur di laboratorium dan butuh waktu sampai hasilnya keluar,” katanya.

“Setelah kita mencurigai secara klinis difteri, harus segera dicari kontak eratnya dan yang bersangkutan harus diisolasi sampai memang dibuktikan ia tidak terkonfirmasi. Mirip seperti Covid-19,” paparnya menambahkan.

Tak hanya anak-anak, dijelaskan Ira, difteri pun bisa menyerang orang dewasa. Beberapa faktornya bisa saja karena dulu status imunisasinya kurang lengkap. Pun jika sudah lengkap bisa saja terkena, tapi tidak memiliki komplikasi yang serius.

“Makanya dua kasus yang dilaporkan secara klinis ini alhamdulillah hasil akhirnya adalah hidup sehat kembali. Sebab yang dikhawatirkan itu jika mereka mengalami komplikasi berat akibat dari kurang lengkapnya imunisasi yang dulu dilakukan,” ujarnya.

Ira mengimbau bagi seluruh masyarakat untuk tetap menerapkan disiplin pola hidup bersih dan sehat (PHBS), melaksanakan prokes seperti cuci tangan dan menggunakan masker.

“Khusus untuk anak balita dan anak sekolah, harap dilengkapi lagi imunisasi DPT, kenali gejala dan tanda untuk mendeteksi dini difteri,” ucap Kepala Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Bandung itu.