INISUMEDANG.COM – Desa Cipancar merupakan salah satu daerah yang berada di Selatan Sumedang. Daerah yang berada di bukit bukit nan sejuk dan indah yang masuk kepada Wilayah Kecamatan Sumedang Selatan.
Selain kesejukan dan keindahannya, ada segudang cerita di sana. Dari mulai kisah para leluhur dan kisah pantangan yang pemali atau disakralkan.
Pantrangan bagi Warga keturunan Cipancar adalah dilarang nyebut nama “Ucing” atau Kucing. Dan untuk menggantinya Warga di Cipancar menyebutnya dengan istilah “Enyeng”.
Nahri (57) penduduk asli dusun Ciheas Desa Cipancar menuturkan, bahwa yang disebut Pamali atau Pantrangan nyebut nama ucing itu akan fatal akibatnya, karena yang dipamalikan itu adalah benar benar dipegang teguh oleh orang asli Cipancar, tak akan diucapkan apapun yang terjadi.
“Kami sangat memegang teguh untuk tidak mengucapkannya, apapun alasannya, tidak ada kecuali dan ini berlaku untuk semua penduduk asli orang Cipancar. Mau dibayar berapa pun, mau di paksa seperti apapun, yang ada hanya ada dua pilihan menghindar atau menantang duel,” tegas Nahri kepada IniSmedang.Com Senin 21 Maret 2022 di kediamannya.
Pantrangan Nyebut Nama Ucing, Tetap Terjaga Oleh Semua Penduduk Cipancar
Kepercayaan ini, sudah turun temurun, tetap terjaga oleh semua penduduk Cipancar. Bahasa pemali atau pantrangan untuk mengucapkan itu, warga Cipancar sangat memegang teguh karena kalau di ucapkan sama dengan menghina leluhur nya.
“Kami hanya berani menyebut dengan nama Enyeng, di manapun, kemana pun, meski berada di luar Cipancar atau keluar Jawa sekalipun bagi penduduk asli keturunan asli Cipancar pasti akan menyebut Enyeng bukan nama itu,” kata Nahri dengan bicara sangat hati hati.
Kalau menyebut nama itu, sama dengan kwalat atau kurang ajar, atau menghina para leluhurnya. Pasalnya, cerita secara lengkapnya tidak bisa diutarakan begitu saja atau mengalir saja. Soal yang satu ini benar benar sangat disakralkan oleh warga Cipancar.
“Saya tidak berani mengupas sejarahnya karena takut kurang ajar atau kwalat. Intinya takut dengan tidak sengaja saya keceplosan, dari pada ada hal yang tidak inginkan terjadi, lebih baik jangan. Paling, saya hanya bisa membicarakan bahwa pernah ada yang melanggar pemali itu,” ujar Nahri.
Nahri menuturkan, dulu pada tahun 1960an, ada seorang guru SD perempuan, memaksa kepada muridnya untuk bilang itu. Muridnya terus dipaksa bahkan si guru itupun menyebutkan nama itu berulang ulang agar diikuti oleh murid muridnya, namun murid muridnya itu satupun tidak berani bicara mengikuti gurunya tersebut.
“Karena terus terusan bilang nama itu, secara tiba tiba, bibirnya guru itu pindah ke dekat telinganya. Sontak semua kaget, dan murid muridnya pun histeris. Lalu dibawa ke Makam Leluhur atas saran sesepuh Cipancar. Karena kalau dibawa ke dokter hal tersebut bukan penanganan dokter. Tapi harus benar benar meminta maaf kepada makam Leluhur,” ujar Nahri bercerita.
Setelah meminta maaf atas kelancangannya, kekurang ajarannya di makam Leluhur itu, yang dibimbing oleh sesepuh Cipancar, maka secara tiba tiba bibirnya kembali lagi ke tempat seperti biasanya.
Selain Bibir Pindah ke Bawah Telinga Karena Mengolok-olok Pantrangan, Kejadian Mobil Di Atap Rumah dan Hidup Sengsara
“Guru perempuan itu bukan lain adalah masih saudara saya, dan ini benar benar terjadi bibirnya pindah di bawah telinga. Mulai kejadian itu, guru tersebut menyadari kesalahannya, dan mulai itu juga dia tidak berani menyebut na itu lagi tapi menyebut dengan sebutan Enyeng,” ucap Nahri.
Tidak hanya itu, lanjut Nahri, terjadi kembali kepada tetangganya yang mengolok-ngolok dengan menyebut nama itu, sambil membawa mobil. Waktu itu, Ia terus terusan mengolok-ngolok nama itu dengan lantang sambil bernyanyi. Setelah itu, apa yang terjadi, mendadak jalan yang di lalui menjadi terbelah menjadi dua.
“Dia dengan gagah berani mengolok-ngolok sambil menyebut nama itu teriak teriak sambil bernyanyi yang diiringi musik di mobil, setelah itu, jalan menjadi dua, dan tetangga saya itu mengambil jalan kiri. Lalu apa yang terjadi?, Tiba-tiba mobilnya ada di atap rumah orang lain, hebohlah semua warga ada kejadian mobil di atas rumah,” tutur Nahri.
Kejadian yang lain lagi, ketika menyebut nama itu dengan sengaja, hidupnya akan sengsara, susah, jauh dari kata makmur atau berkah. Yang lebih parahnya lagi, sampai bibirnya menjadi “Menyon” (Kenyon).
“Atas hal itu, melihat kejadian kejadian tersebut, maka warga hingga kini tidak berani menyebut nama itu, cukup dengan menyebutkan Enyeng. Ini merupakan budaya kami, pantrangan kami, jadi memang seperti itu kejadiannya. Setiap daerah beda beda adat dan budaya nya, maka dari itu ini adat dan budaya kami,” kata Nahri mengakhiri.