INISUMEDANG.COM – Racikan Soto Yoe Fo dengan irisan lobak mengotak dan tebal ditambah dengan kaya bumbu Rempah dan kaldunya, ditambah pula sambal khas Soto Yoe Fo, menjadikan tekstur soto ini sangat terasa dan beda dari yang lain, yang membedakannya adalah kaldu.
Sejak dirintisnya usaha kuliner pada tahun 1960 yang diawali dengan dagangan kecil berupa tahu yang kini menjadi brend “Tahu Sumedang” dan belum memiliki nama dagangannya selama 5 tahun.
Nama Yoe Fo sendiri dilahirkan dari tahun 1965 dalam bahasa mandarin yang artinya Sahabat. Buah pemikiran dari seorang mental dagang yang mempuni pa Hen Sen beristrikan Cen Kim Caw Margareta (kini keduanya telah wafat). Dari perkawinanya pa Hen Sen dan bu Cen memiliki keturunan hingga sepuluh putra dan putri.
Hingga kini, Restoran yang terletak di pusat kota Sumedang atau tepatnya di Jalan mayor Abdurahman ini, masih mempertahankan resep warisan Soto Yoe Fo. Karena resep ini merupakan warisan turun temurun oleh mendiang pa Hen Sen ke putra putrinya
Soto Yoe Fo diracik sendiri oleh pa Hen untuk memulai menambah menu dagangannya pada tahun 1970 lalu.
10 Tahun Soto Yoe Fo Mulai Terkenal
Untuk hidangan sendiri, sekarang tidak hanya ada Tahu dan Soto saja. Ada menu tambahan seperti opor dan goreng ayam kampung yang tentunya akan beda juga rasanya dengan yang lain. Kalau penasaran ingin lebih tahu ada apa aja sekarang di Soto Yoe Fo?
“Ketika mulai dibuat Soto itu oleh papah (Mendiang pa Hen Sen) pada tahun 1970, tidak serta merta langsung boming dan terkenal. Prosesnya orang lebih tahu dan mengenal Soto Yoe Fo lumayan lama juga, sampai tahun 1980 baru mulai ramai”. Ungkap putri bungsu dari sepuluh saudara keluarga pa Hen Sen yang kini mengelola restorannya Angela Merdiana.
Dulu itu, kata Angela, ketika sajikan untuk Soto tidak banyak, secukupnya saja. Dampaknya banyak pembeli dari jauh atau dari luar kota kehabisan, berangkat dari hal tersebut. Maka penyajian Soto di sesuai kan dengan pelanggan.
“Usaha ini, sekarang menjadi usaha keluarga. Karena kan papah meninggal pada tahun 1985 lalu mamih meninggal pada tahun kemarin tahun 2020. Jadi ini usaha keluarga di kelola pun bergantian karena koko dan cici saya sebagian itu ngurus juga perusahan konveksi papah di Bandung. Jadi, untuk saat ini saya yang paling bungsu ngurus resto ini,” tuturnya.