INISUMEDANG.COM – Kekisruhan antara pengurus Komunitas Pedagang Jatinangor (KPJ) pengelola Pasar Semi Modern Resik Jatinangor yang berlokasi di Desa Cibeusi Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang dengan pengelola pasar lama semakin ramai diperbincangkan. Pengurus KPJ menuduh ada kejanggalan dalam proses kepengurusan lahan oleh pengelola lama dari pemilik tanah ke para pedagang.
Termasuk dalam pengelolaan keuangan pasar selama hampir 12 tahun berdiri. Yang sebagian menurut pedagang pasar semi modern Resik Jatinangor itu kurang keterbukaan dan transparansi ke para pedagang.
Menjawab tuduhan itu, Pengelola Pasar Semi Modern Resik Jatinangor, Dadang Rohmawan mengatakan jika dirinya bersama pengurus PRJ (Pasar Resik Jatinangor) yang lama yang dalam hal ini ada Joko Loyor sebagai Ketua, dan H. Nana sebagai sekretaris, mengaku telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur.
“Mereka itu kan bicaranya adalah hari ini atau sekarang, tapi mereka tidak pernah bicara ataupun mengungkapkan tentang historis berdirinya pasar semi modern Resik Jatinangor ini. Saya jelaskan bahwa awal mula Pasar Resik itu berdiri adalah saya waktu itu sebagai wakil rakyat di Dapil 1 (Cimanggung-Jatinangor). Saya kedatangan beberapa orang pedagang datang ke rumah. Diketahui, mereka itu adalah para pedagang eks Pasar Cileunyi yang tidak setuju revitalisasi pasar Cileunyi oleh Pemkab Bandung. Maka mereka memilih keluar zona dan mereka sudah berjalan masuk ke wilayah Jatinangor,” ujarnya.
Para pedagang yang saat itu berjumlah 49 orang mengklaim tanah milik Pak Haji Bustam (pemilik lahan pasar) untuk dijadikan lahan usaha. Mereka mendirikan bangunan dan berjualan tanpa menempuh proses perizinan termasuk kepada warga sekitar.
“Jadi pada dasarnya begitu mereka masuk ke Jatinangor dengan membangun fasilitas perdagangan, mereka usaha, ternyata pemerintah daerah banyak kekhawatiran bahwa pasar itu akan menjadi kumuh dan kebakaran, termasuk kemacetan. Nah mereka datang lagi ke rumah dengan menyampaikan keluhan itu. Akhirnya karena merasa iba, saya bantu mereka. Saya membantu salah satu diantaranya mereka adalah pedagang pasar tradisional tapi dengan konsep pasar semi modern. Alhamdulillah mereka bisa berjualan sampai sekarang,” ujarnya.
Namun masalah kedua muncul, ketika mereka mendesak ingin memiliki sertifikat kepemilikan lahan dari pemilik tanah (H. Bustam) ke para pedagang. Akhirnya, dengan bantuan para pengelola pasar resik yang lama, dibukakan jalan keluar yakni mereka harus membeli lahan dengan cara kredit ke bank BJB, dengan kisaran pinjaman biaya Rp4.5 miliar, dengan tenor 4 tahun.
Namun, seiring berjalanya waktu, dari 67 pedagang hanya 49 pedagang yang mengumpulkan dana untuk uang muka ke BJB dan terkumpul sekitar Rp300 jutaan, karena tidak ada satupun pedagang yang mampu mengeluarkan uang sebesar itu. Hingga terjadilah akad kredit ke BJB dengan platform anggaran sebesar 4.5 Miliar.
Karena kesibukannya sebagai anggota DPRD periode 2014-2019, Dadang tidak fokus ke pengelolaan pasar. Hingga sampai 1 tahun Dadang tidak berkecimpung ke pengelolaan pasar. Akhirnya, muncul notifikasi dari BJB ke Dadang Rohmawan bahwa ada tunggakan dari para pedagang ke BJB selama 2 tahun. Singkat cerita keuangan pasar terjadi kolaps selama 5 tahun, dan idealnya pasar sudah disita pihak bank.
Namun, oleh Dadang Rohmawan bersama pengurus pasar lainnya dicarikan solusi ke Bjb dengan cara restrukturisasi atau penangguhan cicilan, yang awalnya 4 tahun menjadi 12 tahun dengan tenor cicilan sebesar Rp100 juta per orang untuk 49 pedagang. Singkat cerita cicilan ke BJB itu lunas. Sehingga, muncullah SHBG (Sertifikat Hak Guna Bangunan) dari BPN ke 49 pedagang.
“Nah setelah realisasi pinjaman, harus ada balik nama. Harus ada proses perizinan pertanahan. Maka pihak BJB melakukan proses balik nama dengan menunjuk pihak notaris dari pemilik lahan (H. Bustam) ke 49 pedagang. Nah dari situ apa yang terjadi, muncullah 49 SHBG dari BPN karena memang peruntukannya lahan itu digunakan untuk usaha bersama, bukan milik perorangan,” ujarnya.
Mereka hanya tahunya berjualan, apalagi yang sekarang selalu koar koar berbicara, masalah kepengurusan lahan dari SHM ke SHBG.
“Jadi kalau mereka menanyakan status tanah, bukan kami yang memiliki kebijakan. Silahkan ke BJB dan BPN. Masa tanah dari SHM ke pedagang jadi SHM. itu kan dipakai untuk usaha bukan tempat tinggal. SHM ke SHGB dipakai usaha bersama dan bukan usaha pribadi. Kalau mereka keberatan SHM ke SHGB ya somasi saja ke BPN, bukan ke saya. Mana aturanya perorangan atau swasta bisa mengeluarkan Sertifikat tanah. Itu kewenangan Lembaga yang ditunjuk Undang undang yakni BPN,” ujarnya.
Kemudian, kenapa muncul 49 SHGB bukan 67 sesuai jumlah pedagang, karena pada saat mencicil ke BJB hanya 49 pedagang. Sehingga yang keluar SHGB hanya 49 Sertifikat.
“Sekretaris KPJ, Hj Ana bilang, masih ada pro kontra. Ya iyalah kan tidak semua pedagang pro ke KPJ, meskipun ada surat pengesahan dari Desa dan Muspika, tetapi pada prinsipnya muspika itu harus tahu historis berdirinya pasar semi modern resik Jatinangor itu. Jangan seakan akan saya yang dikambinghitamkan. Saya sudah melaksanakan tugas sesuai prosedur,” ujarnya.