INISUMEDANG.COM – Sepak terjang dan aksi gerombolan DI/TII di Desa Gunturmekar Kecamatan Tanjungkerta Sumedang Jawa Barat, mungkin tidak tercatat dalam sejarah.
Namun diprediksi ada hubungan kuat dengan peristiwa berdarah kekejaman gerombolan DII/TII di Cibugel Sumedang di sepanjang tahun 1949 hingga tahun 1962.
Asal muasal kehadiran Gerombolan DI/TII di Gunturmekar dituturkan tokoh masyarakat setempat Iskandar (69). Dia mengisahkan pergerakan DI/TII tahun 1950 hingga tahun 1962, Gunturmekar tepatnya Gunungdatar yang dijadikan markas gerombolan DII/TII.
Waktu itu tahun 50-an, Desa Gunturmekar masih belum berbentuk desa, masih wilayah Desa Cigentur Kecamatan Tanjungkerta.
Kata dia, ini merupakan pelurusan sejarah terkait keberadaan gerombolan DI/TII di Gunturmekar yang mungkin beranggapan bahwa warga Gunturmekar yang sekarang keturunan DI/TII,” tutur Iskandar saat ditemui dirumahnya, Jumat (1/4/2022).
Jika beranggapan seperti itu salah, lanjut dia, justru ketika aksi gerombolan DI/TII semakin brutal, banyak warga Gunturmekar mengungsi ke tempat lebih aman terutama ke kota besar, menghindari ancaman gerombolan DI/TII.
“Ini cerita orang tua karena saya lahir tahun 1951. Awalnya di tahun 1950-an, Gunturmekar kedatangan tamu yang mengaku dari Garut bernama Jatma. Dia menetap di Gunturmekar berbaur dengan masyarakat,” tutur Iskandar dirumah Jumat (1/4/2022).
Gunungdatar Dijadikan Markas atau Kecamatannya DI/TII
Bahkan orang Garut itu kawin dengan seorang perempuan warga Gunturmekar bernama Icih. Namun dari perkawinannya itu tidak dikarunia anak.
Awalnya warga Gunturmekar tidak tahu bahwa orang dari Garut itu DI/TII. Mungkin dia mencoba sebarkan paham atau ideologi DI/TII, tapi tidak menamakan dirinya DI/TII. Waktu itu alasannya Jihad fisabilillah perang melawan tentara Komunis.
Tak lama kemudian, rekan-rekannya datang dari Garut. Mereka bergabung himpun kekuatan dengan seragam mengenakan kopiah hijau. Sikap dan gayanya seperti santri tak dicurigai bahwa mereka itu gerombolan DI/TII.
“Namun warga Gunturmekar marah setelah mengetahui bahwa mereka itu DI/TII karena keberadaannya terendus tentara. Sehingga mereka melarikan ke hutan bersembunyi di Gunungdatar yang dijadikan markas atau kecamatannya DI/TII waktu itu, “kata dia.
Wujud asli DI/TII tampak jelas, maka sejak itu sering terjadi kontak senjata saling serang perang gerilyawan antara gerombolan DI/TII dengan pasukan tentara. Hampir setiap malam, warga sudah tak asing lagi mendengar suara tembakan saing bersautan.
“Suatu hari di tahun 58-an, ibu saya ngajak ke kebun di lereng Gunungdatar. Mungkin saya sudah berumur 7 tahun. Dengan tidak disengaja berpapasan dengan orang-orang berpakaian seragam loreng tapi tidak berpangkat. Mereka masing-masing membawa (Bedil) senjata laras panjang, “ujarnya.
Salah seorang dari orang-orang itu mengacungkan jari ke mulutnya, memberi isarat sekaligus ancaman bahwa jangan bicara kepada siapan pun keberadaan mereka.
Lalu ditanyakan ke ibu, siapakah mereka?. Ibu berbohong waktu itu bahwa katanya orang-orang itu namanya Bultok (semacam burung yang suka berkicau ditengah hutan).
“Namun ketika menginjak umur 10 tahun, saya sudah mulai mengerti bahwa yang disebut ibu si Bultok itu ternyata gerombolan DI/TII karena aksinya semakin brutal,” ujarnya.
Bersambung…