Asal‑Usul Sumedang Larang: Dari Tembong Agung ke Kerajaan Berdaulat Jawa Barat

Sejarah Sumedang
Gambar : Foto Sampul Buku Penelusuran Arsip Sejarah pemerintah Sumedang, Masa Pemerintahan Belanda Tahun 1800 - 1942

Mulailah urutan para penguasa atau Bupati yang memerintah Sumedang secara turun menurun, dimulai dari pewarisan kekuasaan atau kerajaan kepada salah satu putranya yang bernama PRABU GEUSAN ULUN atau PANGERAN KUSUMADINATA II dan bergelar Nalendra yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1610.

Pada masa pemerintahannya datang menghadap untuk mengabdi serombongan orang yang dipimpin oleh 4 Kandaga Lante (bangsawan/abdi/raja setingkat bupati) dari Pakuan Pajajaran yang telah hancur diserang Kesultanan Banten.

Kedatangannya selain melaporkan bahwa Pajajaran telah bubar juga meminta agar PRABU GEUSAN ULUN meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran, diserahkanlah mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Bino Kasih berikut perhiasan serta atribut kebesaran lainnya sebagai bentuk pernyataan bahwa Kerajaann Sumedang Larang telah ditetapkan sebagai penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran, ke 4 Kandaga Lante tersebut adalah, Batara Sang Hyang Hawu (Sayang Hawu atau lebih dikenal sebagai eyang atau Embah Jaya Perkasa ), Batara Pancar Buana (Terong Peot), Batara Dipati Wiradijaya (Nganganan), Batara Sang Hyang Kondang Hapa.

Dengan kejadian tadi berarti kedudukan dan kekuasaan Prabu Geusan Ulun Raja Sumedang Larang menjadi lebih besar dengan menerima hibah sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran (seluruh Tatar Sunda kecuali Banten dan Cirebon), sementara Raja Pakuan Pajajaran terakhir (Prabu Nusiya Mulya/ Suryakancana) menurut kabar menyingkir ke Gunung Salak sambil menghimpun kekuatan untuk serangan balasan, namun tidak pernah terlaksana karena beliau keburu meninggal dunia.

Walaupun telah menerima wilayah kekuasaan dari bekas Kerajan Pakuan Pajajaran, sulit bagi beliau untuk mengembangkan kekuasaannya karena posisi Sumedang Larang terjepit diantara dua kekuatan besar yaitu Kerajaan/Kesultanan Banten dan Kerajaan/kesultanan Cirebon yang sama-sama mengincar wilayah bekas Pakuan Pajajaran.

Pada masa pemerintahannya terkenal dengan peristiwa yang menggemparkan yaitu peristiwa Ratu Harisbaya salah satu istri Raja Cirebon Pangeran Girilaya Panembahan Ratu, terjadi penyerbuan Cirebon yang mengakibatkan beliau terpaksa menyingkir ke Dayeuh Luhur bersama Ratu Harisbaya serta sebagian kecil rakyat dan pengikutnya, meski pada akhirnya tercapai perdamaian dengan Cirebon, namun Sumedang Larang mengalami kerugian besar yaitu hilangnya wilayah Sindang Kasih yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Majalengka diserahkan kepada Panembahan Ratu Cirebon sebagai pengganti talak tiga atas nama Ratu Harisbaya, sejak itulah pusat pemerintahan Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan akhirnya beliau wafat dan dimakamkan disana bersama Ratu Harisbaya.

Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Uun sebagai istri ke 2 dan memilik 3 orang anak salah satunya bernama Suriadiwangsa yang kelak bergelar Pangeran Kusumadinata IV, sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memilki 12 anak salah satunya bernama Rangga Gede dan diberi gelar Pangeran Kusumadinata Il, untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari maka pada tahun 1601 wilayah Sumedang Larang dibagi dua yang masing-masing dipimpin oleh ke dua putranya diatas.

Dalam masa tersebut Kesultanan Mataram-Jawa Tengah dibawah pimpinan Sultan Agung mengalami masa keemasan dan merupakan kesultanan yang sangat kuat, dilatar belakangi kekhawatiran terhadap ekspansi kesultanan Banten ke arah Timur setelah menaklukkan Pakuan Pajajaran, mendorong Suriadiwangsa berangkat ke Mataram meminta perlindungan.

Setibanya di Mataram beliau menyampaikan maksudnya kepada Sultan Agung, dan mendapat sambutan hangat serta mendapat gelar Rangga Gempol Kusumadinata dari Sultan Agung yang dalam urutan silsilah Sumedang disebut Rangga Gempol I, penghargaan lain dari Sultan Agung menjuluki wilayah kekuasaan Sumedang dengan nama PRAYANGAN artinya daerah yang berasal dari pemberian dibarengi oleh hati yang ikhlas dan tulus, di kemudian hari dengan lafal setempat nama prayangan berubah menjadi PRIANGAN, berbeda dengan kata PARAHIANGAN (PARA-HYANG-AN) yang artinya identik tempat tinggal para dewa atau orang suci (Hyang).

Ini Baca Juga :  4 Rekomedasi Tempat Bersejarah dan Populer di Sumedang