Setelah berhasil mengusir Banten misi kedua adalah menyerang Batavia namun misi kedua ini gagal dan DIPATI UKUR tidak berani pulang ke Mataram. Oleh SULTAN AGUNG tindakan DIPATI UKUR dianggap desersi dan harus dihukum berat, namun tidak ada yang sanggup menangkap DIPATI UKUR yang terkenal gagah berani serta memiliki sisa-sisa pasukan yang kuat.
Akhirnya Sultan Agung membebaskan Rangga Gede dari hukuman dan memberi tugas menangkap DIPATI UKUR hidup atau mati namun tugas tersebut tidak dapat terlaksana karena dalam perjalanan dari Mataram menuju Sumedang beliau keburu meninggal dunia dan dimakamkan di Canukur (Conggeang). Sedangkan Dipati Ukur sendiri akhirnya dapat ditangkap hidup-hidup oleh BAHUREKSA salah satu panglima perang Mataram akibat “pengkhianatan” beberapa pengikutnya, untuk kemudian dibawa ke Mataram dan dihukum mati disana.
Pemerintahan Kabupaten Sumedang selanjutnya dipegang oleh salah seorang putra Rangga Gede yang bernama RADEN BAGUS WERUH yang kemudian bergelar PANGERAN RANGGA GEMPOL II sebagal Bupati Sumedang ke 5 dari tahun 1633 sampai tahun 1656, dan terjadi lagi pemindahan ibu kota dari Canukur ke Kampung Sulambitan Kelurahan Regol Wetan Kecamatan Sumedang Selatan.
Berbeda dengan pendahulunya beliau bukan Bupati Wadana sebagai akibat peristiwa DIPATI UKUR I karena dalam mosa owal pemerintahnya terjadi pemecahan wilayah dii Prayangan/Priangan oleh Mataram menjadi empat Kabupaten yang sejajar kedudukannya yaitu Kabupaten Parakan Muncang, Bandung, Sukapura dan Sumedang sendiri, berarti wilayah Kabupaten Sumedang menjadi kecil hanya seperempat dari wilayah semasa PRABU GEUSAN ULUN, maksud pemecahan ini adalah penghargaan terhadap 3 orang bekas pengikut Dipati Ukur yang membelot dan ikut serta dalam operasi pengejaran serta penangkapan Dipati Ukur oleh BAHUREKSA dan masing-masing diangkat sebagal Bupati juga dalam rangka persiapan penyerangan ke Batavia untuk yang ketiga kalinya, namun tidak terwujud karena SULTAN AGUNG keburu meninggal dunia.