INISUMEDANG.COM– Jejak peninggalan sejarah zaman kolonial Belanda di Nusantara ternyata tidak hilang ditelan zaman. Salah satu daerah yang menjadi saksi bisu peninggalan sejarah adalah Jatinangor. Kawasan Pendidikan ini ternyata banyak peninggalan sejarah. Selain jembatan cincin di Desa Hegarmanah, dan menara loji di Desa Sayang dekat ITB Jatinangor, juga ada pancuran tujuh Cibeusi.
Pada masa penjajahan, Jatinangor merupakan kawasan perkebunan teh dan pohon karet yang dikuasai oleh perusahaan swasta milik Belanda. Maatschappij tot Exploitatie der Baud-Landen yang berdiri tahun 1841. Dengan luas saat itu mencapai 962 hektar, membentang dari tanah yang saat ini merupakan kawasan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) hingga Gunung Manglayang. Perusahaan tersebut dimiliki oleh seorang pria berkebangsaan Jerman, bernama Willem Abraham Baud (1816–1879) atau lebih terkenal di masyarakat dengan sebutan Baron Baud.
Untuk mengontrol perkebunannya yang luas, Baron Baud membangun sebuah menara. Menara ini dilengkapi dengan sebuah lonceng yang terletak di puncak menara dan tangga untuk sampai ke puncaknya. Menara ini kemudian dikenal sebagai Menara Loji yang terletak di Desa Sayang Kecamatan Jatinangor.
Sebagai warga pribumi, masyarakat Jatinangor dan Cileunyi banyak yang bekerja di perusahaan karet milik Baron Baud tersebut. Tidak adanya MCK dan toilet pada masa itu, membuat warga memanfaatkan sumber mata air sebagai kebutuhan sehari hari dan air minum jika mereka kehausan bekerja di perkebunan. Salah satunya yang dimanfaatkan warga Cibeusi Kecamatan Jatinangor dan Cileunyi Kabupaten Bandung adalah mata air pancuran tujuh.
Dulu, mata air yang terletak di Dusun Citatah RT 01 RW 01 Desa Cibeusi Kecamatan Jatinangor atau dibawah jembatan tol Cisumdawu. Adalah mata air yang keluar dari celah bebatuan cadas. Airnya yang melimpah dari Kaki Gunung Manglayang menjadi sumber air Sungai Cibeusi yang pada 24 Desember tahun lalu banjir.
Pancuran Tujuh Dibangun Warga Pada Tahun 1996
Awalnya, warga zaman kolonial memanfaatkan untuk mandi, minum dan wudhu disaat istirahat jam kerja. Persis diatas mata air itu ada sebuah gubuk untuk solat, dan sampai sekarang masih ada meski beberapa kali diremak (bangun ulang,red). Dan airnya pun tidak diberi pancuran seperti sekarang ini. Dulu airnya masih mengalir dari celah celah batu.
“Pancuran tujuh Cibeusi ini mulai dibangun lagi oleh warga pada tahun 1996. Batunya dibobok, diperbaiki diperbesar akhirnya ada pancuran 7 dan tempat mandi di tembok. Untuk menampung air yang terus mengalir, warga pun membuat seperti kubangan air lalu dialirkan dengan pancuran. Konon, bagi sebagian masyarakat yang percaya. Air ini bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit dan bisa mempercerah wajah”. Ujar Momo (67) warga Dusun Ciburbet hilir Desa Cileunyi Wetan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung.
Mata Air Pancuran 7 Menjadi Alasan Warga babakan Citatah Masih Bertahan
Menurut Momo, dulu sumber air ini dimanfaatkan warga pekerja perkebunan karet. Sekarang juga masih dipergunakan warga di dua kabupaten perbatasan ini sebagai tempat mandi, solat, dan air minum yang dialirkan menggunakan selang. Karena sekarang sudah banyak sumur bor dan sumur rumahan, jadi sumber mata air ini hanya digunakan sebagian petani yang bekerja di sini.
“Kalau ada warga luar yang tahu ini dipercaya bisa menyembuhkan penyakit, buat mandiin pusaka, mandiin anak yang sakit, dan mempercerah wajah. Tapi kalau warga sini tidak begitu percaya, mungkin sebagian saja yang percaya ada manfaat magisnya,” ujarnya.
Sementara itu, menurut sesepuh Kampung Citatah Uju (72) mata air pancuran 7 menjadi alasan kenapa warga Babakan Citatah bisa bertahan sampai sekarang sejak ratusan tahun lalu. Alasannya karena sumber mata air bersih dan area pertanian yang subur. Meski secara hukum wilayah itu masuk kepemilikan Kemendagri setelah dinasionalisasikan tahun 1980 sejak adanya kampus IPDN di Jatinangor.
“Selain pancuran tujuh, ada juga tempat magis lainnya yakni pasir jurig, makam keramat, dan Gulingan Kebo. Konon tempat itu memiliki aura magis yang sangat kuat. Karena pertemuan dua kaki Gunung yakni Kaki Gunung Manglayang dan Lembah Bukit IPDN, dan menjadi hulu sungai Cibeusi Jatinangor,” tandasnya.