Mengenal Sejarah 3 Warisan Budaya Sumedang yang Dapat Perlindungan Pengakuan Hukum dari Pemprov Jabar

Tari Cikeruhan
MENARI: Siswa tari saat menari Cikeruhan yang digelar di Saung Budaya Sumedang, belum lama ini.

INISUMEDANG.COMPemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) memberikan perlindungan dan pengakuan hukum terhadap 37 warisan budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage) pada tahun 2022 ini. Dari 37 Warisan Budaya tersebut, 3 diantaranya adalah warisan budaya sumedang.

Berikut sejarah 3 warisan Budaya Sumedang yang dilansir dari berbagai sumber.

  1. Bangreng
    Terbentuknya Kesenian Bangreng ada kaitannya dengan penyebaran agama Islam di Kabupaten Sumedang. Sebelum Sunan Gunung Jati mengislamkan beberapa daerah di Jawa Barat, masyarakat Sumedang masih menganut kepercayaan hinduisme.

Untuk menyebarkan agama Islam di Sumedang, Sunan Gunung Jati mengutus empat orang, satu diantaranya bernama Eyang Wangsakusmah.

Dalam melakukan pendekatan sendiri, Sunan Gunung Jati dan utusannya melakukan pendekatan dengan dakwah yang diselingi kesenian, sedangkan sarana yang digunakan adalah Terbang.

Terbang sendiri dibuat dari sisa-sisa kayu yang digunakan dalam pembangunan masjid.

Pada abad XVII Seni Terbang mengalami perkembangan. Kesenian ini dipentaskan pada acara-acara keagamaan seperti mauludan, rajaban, dan hari raya Islam. Dan pada selanjutnya seni Terebang dipentaskan pada acara kenduri, sunatan, dan acara-acara lainnya.

Seiring perkembangan waktu, seni Terbang mengalami perkembangan, dan akhirnya berubah nama menjadi Gembyung.

Adanya perubahan nama pada kesenian ini, diikuti oleh perubahan alat pengiringnya seperti kulanter, goong dengan kempul, kecrek, dan terompet. Begitu pula dengan jumlah pemain dari 4 orang menjadi tujuh hingga delapan orang.

Kendati demikian kesenian Gembyung hanya bertahan 10 tahun, dan berganti nama lagi menjadi Bangreng.

Ini Baca Juga :  Menakjubkan! Temukan Keindahan Alam dan Legenda Misterius di Pantai Batu Hiu, Jawa Barat

Nama Bangreng adalah kependekan dari Terbang dan Ronggeng, yaitu seni Terbang yang menggunakan Ronggeng. (Ronggeng adalah wanita yang menjadi juru sekar/menyanyi).

Jenis kesenian terbang yang menggunakan ronggeng, yaitu wanita yang menjadi juru sekar/penyanyi ada di Kecamatan Tanjungkerta, Kabupaten Sumedang.

Tari Cikeruhan Sebagai Wujud Rasa Syukur Ke Dewi Sri Pohaci

  1. Cikeruhan.
    Tari Cikeruhan yaitu tari tradisional dari daerah Cikeruh Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Tariannya mengambil gerakan dari binatang dan perilaku manusia.

Cikeruhan merupakan seni tari pergaulan yang umurnya sudah tua sekali, setara dengan zaman penjajahan Belanda 400 tahun silam.

Awalnya tarian ini lahir dari tradisi menanam padi sebagai wujud rasa syukur ke Dewi Sri Pohaci pada abad ke-18. Di waktu itu, orang-orang berjalan kaki mengangkat padi ke lumbung sambil menari serta menyuarakan peralatan bertaninya. Masuk akal, karena dulu sebelum menjadi kawasan pendidikan, Jatinangor kaya akan daerah pesawahan dan perkebunan.

Di waktu menari itu, satu orang pejabat Belanda yang bekerja di perkebunan menghentikan kegiatan mereka. Bukan karena tidak menyukainya, tapi dia malah meminta izin untuk ikut menari.

Selanjutnya, pejabat Belanda yang bekerja di kompleks perkebunan karet dan teh di Jatinangor itu, sering mengundang pemusik dan penyanyi serta ronggeng untuk menampilkan Cikeruhan di komplek perkebunan teh dan karet di Jatinangor. Selain itu, ada juga pendapat bahwa Cikeruhan berasal dari nama lagu pakidulan Bandung yaitu Cikeruhan.

Menurut Endang Caturwati seorang penulis buku

Cikeruhan berupa tari yang susunannya tersusun dari gerakan pencak silat, diiringi oleh ketuk tilu yang dibawakan dengan keindahan koreografi dan ekspresi dari penari lelaki dan wanita. Cikeruhan menggambarkan rekaman zaman dahulu dari jawara yang kebiasaannya bersenang-senang dan pamer kekuatan dalam acara kesenian setelah panen. Oleh karena itu, tidak aneh kalau Cikeruhan begitu kental dengan unsur pencak silatnya.

Ini Baca Juga :  Pria di Sumedang Ini Cerita Pengalaman Mistis, Tentang Bus Gaib yang Parkir di Halaman Rumah

Sementara itu, menurut sumber di website Isbi.ac.id Cikeruhan bersumber dari Ketuk Tilu, yang menceritakan sebuah ekspresi dari sifat kegembiraan, kehangatan, keerotisan, dan rasa humoris dari seorang Ronggeng dan Pamogoran, telah menjadi daya tarik untuk meningkatkan kualitas kepenarian penyaji, sebagai pengalaman baru.

Tarian ini merupakan tari pergaulan atau sebagai seni profane yang bergenre tari rakyat. Untuk mewujudkan konsep garap tersebut penyaji menerapkan pengolahan geraknya melalui berbagai unsur, terutama berimajinasi tentang pencitraan dari seorang ronggeng itu sendiri, yang memiliki kepiawaian/mempunyai keahlian menari, dicoba diterapkan dalam diri penyaji sebagai ronggeng yang memiliki daya tarik untuk memikat penari Pamogoran.

Terakhir Bedog Cikeruh Sebagai Warisan Budaya Sumedang Yang Mendapat Perlindungan Hukum

  1. Bedog Cikeruh
    Bedog atau Golok Cikeruh memiliki keunikan hasil kerajinan tangan para pande dan maranggi Cikeruh adalah keunggulan tersendiri yang menjadi daya tarik usaha mereka kepada para calon pemesan.

Selain dapat membuat senjata berbentuk golok tradisional, pengrajin Cikeruh dapat pula membuat pedang yang bergaya Eropa. Bahkan lebih dari itu, mereka dapat menyatukan gaya tradisional dan Barat di dalam bilah-bilah yang mereka produksi.

Sejak lama, golok tradisional Cikeruh telah memiliki citra yang istimewa di mata para pecinta senjata. Golok dengan gaya khas daerah Priangan, ditempa dengan baik oleh para pande Cikeruh. Maranggi di sana, melengkapi bilah berkualitas itu dengan pembuatan gagang dan sarung yang indah dengan ukiran-ukiran khas yang dipenuhi oleh unsur-unsur lokalitas masyarakat Pasundan. Para pengrajin Cikeruh berhasil mewariskan keahlian metalurgi mereka kepada keturunannya dengan baik, seperti halnya Adimadja kepada Kartadimadja.

Ini Baca Juga :  Melalui Gerak Penca, Margaluyu 165 Pertahankan Tradisi Budaya dan Dzikir

Kawasan Jawa bagian barat terus memunculkan tokoh-tokoh hebat dalam proses pembuatan senjata tersebut. Satu di antaranya adalah Empu Adimadja, seorang pande besi senjata tradisional yang kelak menurunkan para pembuat senjata terkenal di Cikeruh, Sumedang. Empu Adimadja sendiri diyakini sebagai salah seorang keturunan Kerajaan Sumedang sehingga dalam nadinya masih mengalir darah bangsawan.

Pada sekitar tahun 1881, cucu Empu Adimadja yaitu Empu Kartadimadja mulai merintis kembali usaha yang pernah digeluti oleh kakeknya dahulu. Dalam beberapa tahun, usahanya berkembang dengan pesat dan Cikeruh masyhur sebagai pusat pembuatan senjata. “De desa’s Tjikeroeh en Tjisoerat in de afdeeling Soemedang hebben de renommee van het smeden van wapens, als kapmessen (bèdog of golok) en houwers (gobang),” tulis Java-Bode bertanggal 07-10-1896.

Setahun setelah perintisan, Tanudimadja, saudara Kartadimadja, turut bergabung dalam usaha pembuatan senjata tersebut. Kolaborasi itu menghasilkan barang-barang yang sangat laku di pasaran. Reputasi yang baik di tengah para pecinta senjata tajam pun segera menghampiri usaha kedua bersaudara Cikeruh tersebut, demikian sejarah Bedog Cikeruh dilansir dari tapak.id.