INISUMEDANG.COM – Aksi kekejaman gerombolan DI/TII di Desa Gunturmekar Kecamatan Tanjungkerta Sumedang Jawa Barat sepanjang tahun 1950 hingga 1962, mengisahkan pilu di masyarakat Sumedang.
Aksi gerombolan DI/TII berakhir ketika komandannya berhasil ditembak tentara dari jarak jauh saat melakukan aksi pembunuhan dan pembakaran pemukiman warga Dusun Pangaroan.
Dikutip tulisan terdahulu, keberadaan DI/TII di Gunturmekar berawal kedatangan tamu dari Garut bernama Jatma, tahun 50-an. Dia sebarkan ideologi DI/TII hingga membangun markas DI/TII di Gunungdatar Desa Gunturmekar.
Menurut saksi sejarah yang saat ini tokoh masyarakat Gunturmekar Iskandar (68) menuturkan, aksi gerombolan DI/TII semakin sadis kepada masyarakat termasuk perlawanan terhadap tentara.
Dengan perang gerilnya yaitu menyerang lalu menghilang, pihak tentara kesulitan menangkap gerombolan DI/TII. Aksi pembakaran disana-sini, dan korban jiwa tak berdosa berjatuhan.
Disebutkan, aksi pertama gerombolan DI/TI disekitar tahun 50-an yaitu peristiwa pembakaran kantor Kecamatan Tanjungkerta. Camat tewas dihabisi secara sadis oleh gerombolan DI/TII.
“Ada anggota gerombolan DI/TII yang bernama Pak Kumis atau Pak Umis yang paling ditakuti karena aksi sadis dan biadabnya. Jika m3nggorok orang (peuncit) cukup disandarkan diatas lututnya saja,” kata Iskandar di rumahnya, Jumat (1/4/2022).
Sekitar tahun 59-an, lanjut dia, peristiwa pembakaran oleh gerombolan DI/TII kembali terjadi. Pasar Cipadung ludes dilalap api, dan satu orang tewas terpanggang yaitu tukang kodok hijau. Rupanya ketiduran usai ngobor kodok hijau di sawah.
Cemburu Dua Belah Pihak
“Dalam kondisi genting seperti itu, warga Gunturmekar serba salah karena di posisi cemburu dua belah pihak. Dimata tentara, bahwa warga Gunturmekar disangka sudah menjadi komplotan DI/TII,” ujarnya.
Sementara dimata DI/TII bahwa warga Gunturmekar menjadi mata-mata membantu tentara. Sehingga waktu itu terjadi gelombang pengungsian besar-besar warga Gunturmekar mencari tempat aman, karena intimidasi dan ancaman dari kedua belah pihak.
“Karena bertahun-tahun ditinggal penduduknya, maka kondisi wilayah Gunturmekar kembali menjadi hutan belantara,” katanya.
Sekitar tahun 60-an, peristiwa berdarah kembali terjadi. Gerombolan DI/TII membakar pemukiman warga Dusun Pangaroan, 7 warga dihabisi dengan cara sadis (dipeuncit) karena dianggap mata-mata tentara.
“Dulu, Dusun Pangaroan itu masuk wilayah Desa Kadujajar sebelum dimekarkan menjadi dua desa yaitu Desa Tanjungmekar dan Desa Cipanas Kecamatan Tanjungkerta,” jelas dia.
Ketika pembakaran Dusun Pangaroan, tentara datang dan mengejar gerombolan DI/TII yang kabur bersembunyi. Namun Komandan DI/TII bernama Jatma terkapar ditembak tentara dari jarak jauh, atau sekarang disebut Sniper.
Tahun 62-an datang surat selebaran dari pemerintah Sumedang, bahwa warga yang sudah dewasa harus ikut operasi Pagar Betis di Gunung Geber Garut. “Yang ikut kakak saya, karena dia sudah dewasa,” ujar Iskandar.
Dua bulan kemudian, setiap pohon ditempeli Pamplet bertuliskan, harus kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi karena pimpinan DI/TII Kartosuwirjo sudah ditangkap.