Legenda Raden Kian Santang: Mencari Jati Diri dan Pelukan Islam di Tanah Suci

Prabu Kian Santang
ILUSTRASI Prabu Kian Santang/Rakeyan Sancang, Sunan Rahmat Suci yang makamnya ada di Makam Godok Garut Jabar.

Di balik runtuhnya Kerajaan Padjajaran yang gemilang, tersimpan kisah terpendam tentang Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang. Jauh dari persepsi perseteruan agama, cerita ini mengantarkan kita pada petualangan spiritual Raden Kian Santang dalam menemukan jati dirinya dan memeluk Islam.

Raden Kian Santang, sang pangeran gagah perkasa yang tak terkalahkan, dikenal pula dengan nama Raden Sangara atau Syeh Sunan Rohmat Suci. Lahir dari Prabu Siliwangi yang bijaksana dan Nyi Subang Larang yang jelita, ia memiliki saudara Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) dan Rara Santang (ibu Sunan Gunung Jati).

Sejak kecil, Raden Kian Santang telah dikaruniai kekuatan luar biasa. Kegagahan dan kesaktiannya melegenda di seluruh Pulau Jawa. Namun, di balik kekuatannya yang tak tertandingi, ia dilanda kebingungan tentang jati dirinya. Pertanyaan tentang makna hidup dan asal-usulnya terus menghantui pikirannya.

Pada usia 33 tahun, Raden Kian Santang memutuskan untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Ia ingin menemukan tandingan yang sepadan, seseorang yang mampu mengalahkannya dan membantunya menemukan jati dirinya.

Ini Baca Juga :  Cerita Perjalanan Spiritual ke Puncak Gunung Tampomas Sumedang dan Munculnya Penggawa Kerajaan

Sang ayah, Prabu Siliwangi yang penuh kebijaksanaan, berkonsultasi dengan ahli nujum. Dari sana, mereka mendapatkan petunjuk bahwa hanya Sayyidina Ali, sang pangeran agung di Tanah Suci Mekah, yang mampu mengalahkan Raden Kian Santang dan membantunya menemukan jalan spiritualnya.

Namun, untuk bertemu Sayyidina Ali, Raden Kian Santang harus memenuhi dua syarat yang tidak mudah. Pertama, ia harus menjadi Mujasmedi di Ujung Kulon, tempat yang terkenal dengan kekuatan spiritualnya. Kedua, ia harus mengubah namanya menjadi Galantrang Setra, yang melambangkan keberanian dan kesucian hatinya.

Dengan tekad yang bulat, Raden Kian Santang pun memulai perjalanannya. Ia menempuh perjalanan panjang dan penuh rintangan ke Ujung Kulon untuk menyelesaikan syarat pertamanya. Di sana, ia menjalani ritual spiritual yang berat dan mengasah kekuatan batinnya.

Setelah menyelesaikan ritual di Ujung Kulon, Raden Kian Santang pun berlayar ke Mekah dengan penuh semangat. Di Tanah Suci, ia bertemu dengan seorang pria yang mengaku kenal Sayyidina Ali dan bersedia mengantarkannya.

Ini Baca Juga :  Innalillahi, 4 Pasien Meninggal Dimakamkan oleh Satgas Kecamatan dan Desa

Perjalanan mereka diwarnai dengan berbagai ujian dan tes. Pria itu menancapkan tongkatnya di tanah dan meminta Galantrang Setra untuk mencabutnya. Awalnya mudah, namun semakin dicabut, tongkat itu semakin kuat menancap.

Galantrang Setra berusaha sekuat tenaga, bahkan menggunakan kesaktiannya yang luar biasa. Namun, kakinya terperosok dan mengeluarkan darah. Ini adalah kali pertama dalam hidupnya ia melihat darahnya sendiri, dan hal itu menjadi simbol kebingungannya tentang asal-usul dan jati dirinya.

Saat itulah, pria itu menampakkan diri sebagai Sayyidina Ali yang agung. Galantrang Setra tersadar bahwa ia telah bertemu dengan orang yang dicarinya.

Pertemuan ini menjadi titik balik dalam kehidupan Raden Kian Santang. Ia kembali ke Tanah Jawa dengan hati yang penuh pencerahan dan tekad yang bulat untuk belajar Islam dari Sayyidina Ali.

Ini Baca Juga :  Mengenal Lebih Dalam Situs Makam Buyut Ronggeng di Jembarwangi Sumedang

Raden Kian Santang pun kembali ke Mekah dan berguru kepada Sayyidina Ali selama 20 hari. Ia mempelajari agama Islam dengan penuh semangat dan ketekunan, membuka pintu hatinya untuk menerima cahaya kebenaran dan kebijaksanaan.

Sepulang ke Sunda, Raden Kian Santang menemui Prabu Siliwangi dan menceritakan kisahnya yang luar biasa. Ia pun memberitahukan bahwa dirinya telah memeluk Islam dan menemukan makna hidup yang sesungguhnya.

Kisah Raden Kian Santang ini tidak hanya menghibur, tetapi juga penuh makna dan pelajaran. Ia menunjukkan kepada kita bahwa bahkan seorang pangeran gagah perkasa pun tak luput dari pencarian makna hidup dan jati diri.

Legenda Raden Kian Santang juga mengingatkan kita bahwa Islam terbuka bagi semua orang, tanpa memandang status sosial, kekuatan, atau latar belakang. Kisah ini menjadi bukti bahwa Islam mampu membawa kedamaian, pencerahan, dan kebahagiaan bagi siapapun yang memeluknya.