Kerajaan-kerajaan Maluku dalam Mitos dan Legenda

Dua Wisatawan Berpoto di Benteng Peninggalan Kerajaan Ternate
Dua Wisatawan Berpoto di Benteng Peninggalan Kerajaan Ternate

INISUMEDANG.COM – Sejumlah mitos mengisahkan kelahiran dan asal-usul kerajaan kerajaan di Maluku, khususnya empat kerajaan besar: Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.

Naidah, salah seorang klan Jiko yang menjabat sebagai Hukum Soasio dari 1859-1864 dan penulis Sejarah Ternate, berceritera tentang riwayat kelahiran raja raja Maluku yang mirip legenda Jaya Katwang di Jawa Timur.

Naskahnya, yang ditulis dalam bahasa Ternate, telah diterjemahkan oleh P. van der Crab-mantan Residen Ternate (1863-1864)-ke dalam bahasa Belanda dan diberi anotasi, kemudian diterbitkan pada 1878 dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde van Nederlandsch Indie (BKI).¹ Hikayat ini diberi judul oleh Crab: “Geschiedenis van Ternate, in der Ternataanschen en Maleischen Tekst, beschreven door der Ternataan Naidah, met Vertaling en Aantekeringen door P. van der Crab” (Sejarah Ternate, dalam Teks berbahasa Ternate dan Melayu, ditulis oleh Naidah, seorangTernate, dengan terjemahan dan catatan oleh P. van der Crab). Tentang asal-usul kerajaan-kerajaan besar Maluku.

Naidah menuturkan, Syahdan, mendaratlah di Ternate seorang Arab bernama Jafar Sadek (terkadang disebut juga Jafar Noh). Dia naik ke atas sebuah bukit bernama Jore-jore dan membangun rumahnya di sana.

Di kaki bukit itu terdapat sebuah danau kecil bernama Ake Santosa. Suatu petang, ketika hendak mandi, Jafar Sadek melihat tujuh bidadari sedang mandi di danau itu.

Ini Baca Juga :  Baru Tahu, Ini Asal Muasal Nama Jatinangor yang Sekarang jadi Kawasan Pendidikan

Jafar Sadek menyembunyikan salah satu sayap ketujuh bidadari itu. Setelah puas mandi, ketujuh bidadari bersiap-siap pulang, tetapi salah seorang di antaranya, bernama Nur Sifa, tidak dapat terbang pulang karena sayapnya hilang. Nur Sifa adalah puteri bungsu di antara ketujuh bersaudara itu.

Karena tidak punya sayap, Nur Sifa terpaksa tinggal di bumi dan kawin dengan Jafar Sadek. Dari perkawinan ini lahirlah tiga orang anak laki-laki, dan masing-masing diberi nama: yang tertua Buka, yang kedua Darajat dan yang ketiga Sahajat.

Pada suatu hari, ketika Nur Sifa memandikan si bungsu Sahajat, ia melihat bayangan sayapnya yang terpantul di air mandi Sahajat. Ia melihat ke atas dan sayapnya tersisip di atap rumahnya, tempat suaminya menyembunyikannya.

Ia lalu mengambil sayapnya dan mencoba terbang sebanyak tiga kali. Tetapi, setiap kali terbang, si bungsu Sahajat selalu menangis.

Ia lalu menampung air susunya pada sebuah gelas serta berpesan kepada si sulung Buka agar memberi minum adiknya bila menangis, dan agar memberitahukan ayahnya kalau pulang, bahwa ibunya telah kembali ke tempat asalnya.

Setelah itu, Nur Sifa terbang tanpa mengindahkan tangisan Sahajat. Ketika Jafar Sadek tiba di rumah dan mendengar pemberitahuan Buka, ia pun menangis. Tangisan Jafar Sadek didengar seekor burung elang laut (Ternate: guheba) yang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi.

Ini Baca Juga :  Menikmati Keindahan Alam Batu Belimbing di Kalimantan Barat: Destinasi Wisata yang Memukau

Setelah Jafar Sadek menceriterakan segalanya, burung itu menawarkan jasa menerbangkannya ke Kayangan dengan menaiki punggungnya.

Sesampainya di Kayangan, Jafar Sadek bertemu ayah Nur Sifa dan berkata kepadanya: “Isteri saya, anak Anda.” Penguasa Langit (heer van de hemel) itu lalu menghadirkan tujuh bidadari yang secara lahiriah mirip, baik wajah, postur tubuh maupun perawakannya.

Jafar Sadek diminta menunjuk isterinya, salah seorang di antara ketujuh bidadari yang serupa itu, dengan syarat bila ia tidak dapat menunjuk secara tepat, ia harus mati. Ia boleh membawa pulang isterinya bila dapat menunjuknya dengan tepat.

Dalam keadaan bingung, datanglah seekor lalat besar berwarna hijau (Ternate: gufu sang) hinggap di pundaknya dan menawarkan jasa sambil meminta imbalan.

Kepada gufu sang Jafar Sadek menjanjikan semua yang berbau busuk di muka bumi ini untuknya, dan gufu sang menyetujuinya dengan pesan:

“Perhatikan baik-baik, saya akan terbang mengelilingi semua bidadari itu, tetapi pada siapa aku hinggap, itulah isteri mu.” Gufu sang mengenal Nur Sifa dari bau badannya sebagai seorang yang tengah menyusui.

Atas bantuan gufu sang, Jafar Sadek menunjuk dengan tepat isterinya, dan akhirnya Penguasa Kayangan menerima Jafar Sadek sebagai anggota keluarganya serta merestui perkawinannya.

Selama tinggal di Kayangan, Jafar Sadek dan Nur Sifa dikaruniai seorang putera yang diberi nama Mashur Malamo. Setelah putera itu berusia setahun, mereka pamit hendak kembali ke bumi.

Ini Baca Juga :  Asal Usul Cimalaka, Ternyata Berawal dari Ucapan Kanjeng Pangeran Penguasa Sumedang

Tetapi, setiap kali akan kembali, si kecil selalu menangis. Maka Penguasa Langit itu berkata: “Pasti ia mau pe nutup kepalaku” (Ternate: kopiah).

Ketika kopiah itu dikenakan di kepala si kecil, ia pun diam. Maka kembalilah keluarga itu ke bumi, dan Mashur Malamo dengan kopiah yang dibawanya dari langit, pemberian kakeknya si Penguasa Langit.

Ketika Jafar Sadek dan Nur Sifa tiba di bumi, mereka bersua kembali dengan ketiga anaknya yang telah lama ditinggalkan. Nur Sifa memberi tanda-tanda tertentu sebagai tempat duduk keempat anaknya.

Anak pertama, Buka, diberinya sepotong buncak pohon (Ternate: age). Buka kemudian bertolak ke Makian dan menjadi cikal-bakal Kerajaan Bacan.

Anak kedua, Darajat, mendapat tempat duduk sepotong kayu terapung (Ternate: ginoti). Ia bertolak ke Moti dan menjadi cikal bakal Kerajaan Jailolo.

Anak ketiga, Sahajat, memperoleh batu (Ternate: mari) sebagai tempat duduk. Ia pergi ke Tidore dan menjadi cikal-bakal Kerajaan Tidore.

Anak keempat, Mashur Malamo, memperoleh tempat duduk sebuah kursi dan menjadi cikal-bakal kerajaan Ternate. Kopiah pemberian kakeknya yang dibawa dari langit menjadi mahkota kerajaan Ternate.

Cerita ini dikutip dari Buku M. Adnan Amal yang berjudul “Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950.