INISUMEDANG.COM – Bencana banjir Jatinangor menjadi trending topik perbincangan masyarakat di akhir tahun 2021 ini. Banyak yang berargumen penyebab banjir lantaran adanya proyek tol Cisumdawu tepatnya di daerah atas Kecamatan Jatinangor (Kiarapayung dan IPDN). Namun, ternyata, banjir Jatinangor sudah terjadi ketika Alih Fungsi lahan dari kawasan perkebunan menjadi kawasan pendidikan.
Sebagaimana dikatakan Tokoh masyarakat Jatinangor Ismet Suparmat saat ditemui di kediamannya di Dusun Hegarmanah Desa Hegarmanah Kecamatan Jatinangor, Selasa (28/12/2021).
Menurut Ismet, mulai adanya peralihan fungsi dari kawasan perkebunan menjadi kawasan pendidikan diawali berdirinya kampus IPDN Jatinangor dan Universitas Winayamukti (Unwim) sekarang ITB Jatinangor pada tahun 1978. Kemudian, dilanjutkan dengan adanya kampus Unpad Jatinangor dan Ikopin pada 1983. Kemudian, pada tahun 1986 ada kejadian banjir pertama meluapnya sungai Cikeruh yang menyebabkan puluhan rumah terendam dan korban harta benda.
“Kejadian banjir itu memang karena lahan yang tadinya perkebunan karet dan tanaman keras, berubah fungsi jadi bangunan. Yang awalnya tanah resapan diganti dengan pelur tembok dan paving blok. Kemudian, air hujan langsung ke daerah dataran rendah bukan ke atas. Imbasnya debit air sungai Cikeruh naik dan ke pemukiman warga,” ujar pria yang akrab disapa Apih Ismet ini.
Tak hanya sampai disitu, kejadian banjir menyusul pada tahun 1990. Imbas adanya kampus, berefek pada munculnya kos kosan, gedung bertingkat, pertokoan, dan kantor kantor Dinas dan Badan, seperti LAN, kawasan Kiarapayung dan Hotel.
“Perkembangan pembangunan di Jatinangor terlihat pesat pada awal 1990, karena efek dari adanya kampus, muncul bangunan kos kosan dan pertokoan. Lahan permukiman yang awalnya ditanami tumbuhan dan taman, berubah menjadi bangunan kos kosan. Imbasnya, tidak ada resapan air di pekarangan rumah warga. Yang berimbas pada mengalirnya air hujan ke Sungai Cikeruh,” ujarnya.
Semakin Menipisnya Ruang Terbuka Hijau
Tak hanya membangun di sekitar pekarangan rumah dan pesawahan, warga pun kemudian membangun kos kosan di bantaran sungai. Bahkan, gang gang sempit diubah menjadi kos kosan dan pertokoan. Sehingga, benar-benar di Jatinangor semakin menipis ruang terbuka hijau. Bahkan, yang tadinya jalan gang hanya tanah diganti menjadi pelur tembok dan paving blok.
“Kemudian, diperparah dengan munculnya beberapa apartemen dan mal pada tahun 2006. Pokoknya pembangunan di Jatinangor sangat pesat mirip kawasan perkotaan. Dan banjir kecil kecilan pun tak terbendung bahkan menjadi bencana rutin tahunan ketika musim hujan,” bebernya.
Pria kelahiran Sumedang 72 tahun silam ini tak menampik jika buruknya pengawasan dari pemerintah kabupaten Sumedang dan buruknya tata ruang menyebabkan pembangunan yang pesat tanpa dibarengi dengan amdal dan amdalalin. Sehingga, tumbuh kawasan pendidikan menuju kawasan perkotaan yang semrawut dan tak terukur.
“Pada tahun 1980 an sebetulnya kawasan Jatinangor awalnya mau dibangun stasiun TVRI, yang sekarang ITB, namun secara teknologi karena blankspot jadi tidak jadi di Jatinangor melainkan di Cibaduyut. Waktu itu Jaman Gubernur Aan Nuryana, dan Wali Kota Bandung Ateng Wahyudi,” ujarnya.