Tradisi Upacara Adat 7 Bulanan, Bid’ah Atau Budaya, Begini Penjelasannya

Tradisi 7 Bulanan
Tradisi upacara adat 7 Bulanan (Istimewa)

INISUMEDANG.COM – Di masyarakat Sunda, tradisi upacara adat 7 bulanan atau Tingkeban merupakan sesuatu yang wajib. Meski bukan suatu keharusan, namun tradisi itu patut dipertahankan sebagai warisan budaya. Lalu bagaimanakah menurut pandangan islam? Bid’ah Atau Budaya?

Upacara Tingkeban adalah upacara yang diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung bayi 7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di dalam kandungan dan ibu yang melahirkan akan selamat dan lancar saat melahirkan. 

Tingkeban berasal dari kata tingkeb artinya tutup, maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah besar.

Hal ini untuk menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan pengajian biasanya membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat Maryam.

Selain Membaca Ayat-ayat Al-Qur’an Dipersiapkan Peralatan Upacara

Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil, dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan.

Ini Baca Juga :  Tiga Seni Budaya Asli Sumedang, Kembali Ditetapkan Menjadi Warisan Budaya Tak Benda

Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji (dukun beranak) secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa.

Pada guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengenai perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan manis. 

Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya mendapatkan keselamatan dunia-akhirat.

Ini Baca Juga :  Pencari Kerja Wajib Tahu Cara Berkarir Mudah Tanpa Ribet, Pelajari Proses Berikut Ini

Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke tempat rujak kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara itu, dan mereka membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin. 

Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dan sebagainya. Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang empat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.

Tidak Keluar Dari Ajaran dan Syariat Islam, Tradisi 7 Bulanan Tidak Dilarang Agama

Lalu bagaimanakah menurut pandangan islam mengenai tradisi itu yang tidak diajarkan Nabi Muhammad? Pimpinan Ponpes Al Haruniyah,  Ust Endang Harun mengatakan asalkan tidak keluar dari ajaran dan syariat islam, tradisi 7 bulanan tidak dilarang agama. 

Apalagi, kata dia, prosesi tujuh bulanan diisi pengajian dan shalawatan. Sebab, tradisi dan agama tidak bisa disatukan. Meskipun bisa dipadukan seperti kisah wali songo yang memadukan wayang dengan syiar agama islam. 

Ini Baca Juga :  Mengenal Sejarah Singkat Wali Songo, Tokoh Penyebar Islam di Pulau Jawa

“Para Wali Songo juga menyebarkan agama islam tidak dengan ceramah atau tausiyah. Tetapi diisi dulu dengan wayang atau gamelan. Kan itu tidak diajarkan nabi, tetapi dipakai Wali Songo. Artinya, sepanjang itu tidak keluar dari ajaran islam, sah sah saja,” katanya. 

Endang pun menambahkan, pemakaian kendaraan bermotor dan produk produk barat, seperti Handphone dan internet, tidak diajarkan nabi. Tetapi seiring perkembangan zaman ustad dan kiayi pun menggunakan produk barat. 

“Ini antara kepercayaan dan budaya. Tradisi tujuh bulanan Akulturasi budaya Hindu Budha (sunda wiwitan), dan dipakai nenek moyang terdahulu. Sekarang dipadukan dengan tradisi islam seperti mengaji dan shalawatan. Saya kira itu bukan bid’ah,  melainkan perpaduan budaya dan agama,” tandasnya.