INISUMEDANG.COM – Dengan diterbitkannya Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020. Hingga sampai kini terus menuai polemik diberbagai sektor badan usaha, tidak terkecuali di bidang perusahaan jasa konstruksi.
Seperti diketahui, Izin SBU (Sertifikat Badan Usaha) merupakan sertifikat tanda bukti pengakuan formal atas kompetensi dan kemampuan usaha dengan ketetapan kualifikasi Badan Usaha.
Namun, dibalik mudahnya pengurusan izin SBU ada persyaratannya yang akan membunuh para pelaku jasa konstruksi bagi usaha kecil.
Wakil Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Seluruh Indonesia (Gapensi) Jawa Barat Ade Rully mengatakan. Proses jasa kontruksi dalam memenuhi kompetensi berupa SBU. Hal itu terjadi, sejak digulirkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Turunan dari UU Cipta Kerja No 11 tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 05 dan PP No 14 yang mengatur tentang perizinan berusaha berbasis resiko. Itu sangat sangat memberatkan para pelaku jasa konstruksi. Karena satu perusahaan saja harus memiliki 2 orang bahkan lebih tenaga teknik”. Terang Ade kepada wartawan Rabu 1 Februari 2022 di Gedung Gapensi Sumedang.
Memberatkab Perusahaan Kecil
Sebelumnya, kata Ade, tenaga teknik tersebut cukup dengan lulusan SMK/SMA. Sekarang Penanggung Jawab Tenaga Teknik Badan Usaha (PJTBU) perusahan kecil, itu harus dijabat oleh lulusan S1 teknik. Maka hal itu yang menyebabkan kesulitannya, harus berapa gaji yang diberikan untuk seorang Insinyur Teknik? Hal ini sangat memberatkan bagi perusahaan kecil.
“Saya dan rekan-rekan di Gapensi Jawa Barat sudah melakukan upaya, dengan melakukan rapat kordinasi di wilayah tengah itu. Ada 14 Provinsi telah mengajukan surat ke Kementerian PUTR melalui Gapensi Pusat. Agar terkait dengan PP 05 dan PP 14 itu, tolong di revisi, jangan sampai memberatkan,” ucapnya.
Namun, setelah terus melakukan konsolidasi dan komunikasi dengan Kementerian PUTR dan mendesak Kementerian PUTR. Agar segera melakukan revisi PP 05 dan PP 14 yang turunanya itu terdapat Peraturan Kementerian PUTR. Selanjutnya pihak Kementerian PUTR mengeluarkan melalui Permen PUTR tentang relaksasi No 08 tahun 2022 tentang relaksasi persyaratan perizinan berbasis resiko yang khusus di bidang jasa konstruksi.
“Permen PUTR itu masih memberatkan terutama di tenaga kerja. Ok lah pengalaman yang tadinya 10 tahun menjadi 3 tahun. Lalu dengan pemenuhan peralatan yang masing-masing sub bidang yang tadinya harus satu sekarang mulai dikurangi dengan relaksasi tersebut,” tuturnya.
Tapi khusus di bidang penyerapan tenaga kerja, Kementerian PUTR masih tetap berpegang ke Undang-Undang Cipta Kerja dan di bawahnya ada PP 05 dan PP 14.
Belum selesai mendesak Kementerian PUTR, agar mempermudah persyaratan itu, sambung Ade. Tiba-tiba setelah 2 tahun Undang-Undang Cipta Kerja yang notabene oleh Mahkamah konstitusi tersebut tidak boleh mengeluarkan peraturan ke bawahnya.
Undang-Undang Cipta Kerja
“Jadi lucu, Pemerintah tetap memberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja. Padahal sudah banyak rekan rekan yang yudisial review terhadap undang undang itu. Akhirnya Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu 02 tentang Cipta Kerja, jadi Undang-Undang No 11 sekarang ini sudah tidak ada karena sudah diganti oleh Perppu 02,” jelas Ade.
Kendati demikian, kata Ade, Perppu 02 tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini, sekarang menjadi kajian, apa bisa berubah di Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Perppu 02. Jangan jangan PP 05 dan PP 14 masih ada, atau memang harus diganti.
“Nah kalau diganti, ini menjadi jalan bagi kami. Perppu 02 ini keluarnya pada tanggal 30 Desember tahun 2022 sampai saat ini belum ada turunanya. Sementara pengurusan izin SBU masih menggunakan peraturan yang lama dan dampak dari Undang-Undang Cipta Kerja ini, kesulitan berusaha, dan akan banyak pengangguran. Soal pengurusan izin itu mudah tapi persyaratannya akan membunuh pengusaha kecil,” tandasnya.