Sejarah Tari Cikeruhan, Kesenian Tradisional Asal Jatinangor Sumedang ini Sudah Hampir Punah

Tari Cikeruhan
MENARI: Siswa tari saat menari Cikeruhan yang digelar di Saung Budaya Sumedang, belum lama ini.

INISUMEDANG.COM Cikeruh Jatinangor ternyata tidak hanya menjadi ikon kecamatan Jatinangor, Sebab di Desa Cikeruh ini selain cikal bakal nama Jatinangor juga memiliki tarian tradisional yang cukup melegenda dan setara dengan usia zaman penjajahan Belanda 400 tahun lalu. Tari Cikeruhan yaitu tari tradisional dari daerah Cikeruh Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Tariannya mengambil gerakan dari binatang dan perilaku manusia.

Cikeruhan merupakan seni tari pergaulan yang umurnya sudah tua sekali, setara dengan zaman penjajahan Belanda 400 tahun silam.

Awalnya tarian ini lahir dari tradisi menanam padi sebagai wujud rasa syukur ke Dewi Sri Pohaci pada abad ke-18. Di waktu itu, orang-orang berjalan kaki mengangkat padi ke lumbung sambil menari serta menyuarakan peralatan bertaninya. Masuk akal, karena dulu sebelum menjadi kawasan pendidikan, Jatinangor kaya akan daerah pesawahan dan perkebunan.

Di waktu menari itu, satu orang pejabat Belanda yang bekerja di perkebunan menghentikan kegiatan mereka. Bukan karena tidak menyukainya, tapi dia malah meminta izin untuk ikut menari.

Ini Baca Juga :  Wisata Metun Sajau: Pesona Alam Kalimantan Utara yang Mengagumkan

Selanjutnya, pejabat Belanda yang bekerja di kompleks perkebunan karet dan teh di Jatinangor itu, sering mengundang pemusik dan penyanyi serta ronggeng untuk menampilkan Cikeruhan di komplek perkebunan teh dan karet di Jatinangor. Selain itu, ada juga pendapat bahwa Cikeruhan berasal dari nama lagu pakidulan Bandung yaitu Cikeruhan.

Menurut Endang Caturwati seorang penulis buku Cikeruhan berupa tari yang susunannya tersusun dari gerakan pencak silat, diiringi oleh ketuk tilu yang dibawakan dengan keindahan koreografi dan ekspresi dari penari lelaki dan wanita. Cikeruhan menggambarkan rekaman zaman dahulu dari jawara yang kebiasaannya bersenang-senang dan pamer kekuatan dalam acara kesenian setelah panen. Oleh karena itu, tidak aneh kalau Cikeruhan begitu kental dengan unsur pencak silatnya.

Cikeruhan Bersumber Dari Ketuk Tilu

Sementara itu, menurut sumber di website Isbi.ac.id Cikeruhan bersumber dari Ketuk Tilu, yang menceritakan sebuah ekspresi dari sifat kegembiraan, kehangatan, keerotisan, dan rasa humoris dari seorang Ronggeng dan Pamogoran, telah menjadi daya tarik untuk meningkatkan kualitas kepenarian penyaji, sebagai pengalaman baru.

Ini Baca Juga :  Ada Keajaiban Aneh Sebelum Longsor Mengerikan di Jalan Cadas Pangeran Sumedang

Tarian ini merupakan tari pergaulan atau sebagai seni profane yang bergenre tari rakyat. Untuk mewujudkan konsep garap tersebut penyaji menerapkan pengolahan geraknya melalui berbagai unsur, terutama berimajinasi tentang pencitraan dari seorang ronggeng itu sendiri, yang memiliki kepiawaian/mempunyai keahlian menari, dicoba diterapkan dalam diri penyaji sebagai ronggeng yang memiliki daya tarik untuk memikat penari Pamogoran.

Sebagai barometernya yang mampu memberikan atmosfir, maka berusaha mencari lawan menari (Pamogoran) yang lebih berpengalaman lagi. Agar segala keinginan untuk menjadi sosok Ronggeng yang memiliki ciri-ciri tertentu bisa tercapai dan bisa dinikmati oleh penonton. Dibantu dengan keceriaan atau kehangatan dari gubahan music pengiringnya yang bisa mengkomposisikan gerakannya seirama dan dinamis, sehingga pengembangan gerak yang tertata dan teratur melalui pola lantai, menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bentuk garapan Tari Cikeruhan.

Ini Baca Juga :  INNALILAHI, Diduga Janin Bayi Ditemukan di Kebun Pisang di Desa Cijati Sumedang

Namun di era sekarang, sudah tak terlihat adanya masyarakat yang menari Cikeruhan dengan maksud untuk memberi penghargaan kepada Dewi Sri Pohaci atau gambaran dewi padi. Sebab, sudah sangat jarang pesawahan, meskipun ada jumlahnya tidak seluas tempo dulu. Jika pun ada, hanya sepetak dua petak milik warga pribumi yang jauh lebih luas dari bangunan apartemen.

Menurut Entis Sutisna tokoh masyarakat Desa Cipacing. Luas area pesawahan di Jatinangor mungkin hanya sekitar 13 persen dari luas wilayah Jatinangor. Kemudian, tradisi cikeruhan juga jarang dipertontonkan untuk kepentingan tradisi menyambut panen.

“Paling kalau seni pertunjukan masih ada digelar di Sabusu Jatinangor. Itu juga penarinya dari anak anak siswa tari. Kalau masyarakat umum kayaknya sudah tidak mengenal tari cikeruhan,” tandasnya.