INISUMEDANG.COM – Sejumlah pedagang Pasar Resik Jatinangor mengaku merasa dibohongi lantaran lahan pasar yang kini diduduki mereka bersertifikat hak guna bangun (SHGB) yang dikeluarkan oleh BPN. Padahal, mereka merasa telah menyicil lahan itu ke BJB dengan cara kredit dan membayarkan pelunasan uang ke pemilik lahan.
Tak hanya itu, luasan tanahnya pun tidak sesuai antara sertifikat dengan AJB yang dikeluarkan oleh pemilik lahan dulu. Idealnya, dari kira-kira 2042 meter persegi, pedagang yang mengatasnamakan Komunitas Pedagang Jatinangor (KPJ) itu hanya menerima lahan yang tertera di SHGB seluas 1.023 meter persegi.
Ketua Komunitas Pedagang Jatinangor (KPJ), H. Rohman, melalui sekretarisnya, Hj. Ana Teja Sukmana mengungkapkan berbagai permasalahan terjadi di pasar resik. Pertama soal kepemilikan tanah dan pengelolaan keuangan di Pasar Resik Jatinangor muncul setelah pergantian dari pengelola lama Pasar Semi Modern Pasar Resik Jatinangor (PRJ) ke Komunitas Pedagang Jatinangor.
“Awalnya kami bingung, kami beli tanah ini dari perorangan, bukan dari pemerintah. Tapi kenapa sekarang hanya dapat SHGB?, biasanya dari AJB ada nomer sekian dan Salinan juga tidak kami terima. Kemudian muncul SHM. Lah ini yang keluar SHBG, memangnya kami hanya memiliki hak bangunan saja,” ujarnya.
Tak hanya itu, dari luasan tanah 2042 m², hanya menerima 49 SHGB yang berjumlah seluas 1.023 m². Kami paham ada fasilitas sosial dan fasilitas umum (Fasos Fasum) tapi kami menanyakan surat induknya ada di mana?
Menurut Hj. Ana, hingga kini pengurus lama belum memberikan klarifikasi terkait SHBG tersebut ke BPN. Bahkan para pedagang telah mendatangi BPN dan menerima laporan bahwa surat induk masih atas nama penjual (pemilik tanah) dan hanya berupa arsip.
“Yang lebih membingungkan lagi, dari total 49 SHGB yang kami terima, hanya ada 1.023 m² yang tercatat, sedangkan 1.019 m² lainnya belum jelas statusnya,” tandasnya.
Masalah ini semakin pelik dengan keresahan pedagang yang selama 13 tahun mencicil tanah ke BJB namun sampai saat ini belum juga melunasi utang. Oleh karena itu, pada Agustus 2023, para pedagang sepakat untuk melunasi sisa utang ke Bjb dengan cara iuran sebesar Rp4 juta rupiah per pedagang, dengan uang terkumpul sebesar Rp400 jutaan.
“Seharusnya cicilan kami ke BJB lunas, tetapi kenapa kami belum menerima bukti pelunasan. Entah dikemanakan oleh pihak pengurus pasar yang lama bukti pelunasan itu. Bahkan salinan AJB juga belum keluar dan kata notaris yang kami datangi mengatakan bahwa yang mengeluarkannya yakni Bank melalui pihak ketiga,” ungkapnya.
Hj. Ana juga menyebut, dari pinjaman sebesar Rp4,9 Miliar ke Bjb, pengurus KPJ mengumpulkan dana hingga mencapai Rp8 Miliar Rupiah, tetapi masih ada pedagang yang belum mengumpulkan data tersebut, karena adanya pro dan kontra.
Menurut Hj. Ana, pemilik lahan juga siap bersaksi jika diperlukan terkait asal usul jual beli lahan ke pengelola pasar. Selain itu untuk berbagai perizinan, baik itu Pheil Banjir atau Amdalalin, pihaknya hanya mengetahui itu diurus oleh pengelola lama.
Selain masalah tanah, Hj. Ana menduga adanya kejanggalan dalam pengelolaan keuangan oleh pengurus sebelumnya, seperti pembayaran Pajak atau iuran retribusi selama lima tahun ke Pemda Sumedang sebesar Rp67 juta belum dibayarkan.
“Izin prinsip KPJ yang diketahui Bupati juga mereka tenggelamkan karena mereka lebih fokus ke PRJ (Pasar Resik Jatinangor). Bahkan, selama 13 tahun terakhir, uang kas pasar kosong, dan banyak fasilitas pasar yang rusak,” jelasnya.
Oleh karena itu, KPJ telah mengambil langkah inisiatif untuk mengatasi situasi ini dengan membentuk ulang pengelola pasar yang diberinama KPJ dengan badan hukum baru dan mulai mengelola pasar secara mandiri.
“Sekarang kami sudah berbadan hukum. Setiap hari ada retribusi pasar sekitar satu juta rupiah, dan kami juga mulai memperbaiki fasilitas pasar seperti gorong-gorong di samping Masjid, dan pembuatan Gapura depan pasar,” tambah Hj. Ana.
Namun, Hj. Ana menegaskan bahwa selama ini tidak ada laporan keuangan dari pengurus sebelumnya.
“Sudah dua bulan kami bergotong royong membenahi pasar, dan melaporkannya ke Desa serta Forkopimcam Jatinangor sebagai bentuk pengakuan. Alhamdulillah, sekarang selama dua bulan ini kami bisa memperbaiki sedikit demi sedikit bahkan sudah bisa membangun gapura di depan pasar.” tandasnya.
Hj. Ana berharap agar warga pasar bisa mendapatkan kejelasan terkait status tanah pasar dan transparansi keuangan di masa mendatang. Dia juga mengharapkan pihak terkait di Kabupaten Sumedang bisa membantu mencari solusi terbaik bagi para pedagang Pasar Resik.
“Kami siap bekerja sama dengan pihak manapun demi kemakmuran dan kemajuan Pasar Resik Jatinangor,” pungkasnya.
Sementara itu, pengelola Pasar Resik Jatinangor yang lama, Dadang Rohmawan mengatakan jika segala tuduhan yang dimandatkan ke pengelola lama tidak masuk akal. Justru dirinya mempertanyakan terkait legalitas pasar itu seperti Ijin warga, Dokumen peil banjir, Dokumen UPL/UKL, Dokumen Andal Lalin, IMB yang tidak ON d perijinan, dan Bangunan berdiri di irigasi teknis.
“Silahkan adu bukti dan adu data dengan kami,” ujarnya.
Dia pun mempertanyakan, bahwa sejak dibangun pasar sampai sekarang tidak ada tanda tangan persetujuan warga, garis sempadan bangunan kurang dari 10 meter, banyak bangunan di atas irigasi teknis, dan tidak memiliki feil banjir. Kemudian juga tidak memiliki UPL/UKL, tidak ada Andal Lalin apalagi di jalan nasional. Kondisi bangunan tidak sesuai site plan, dan IMB tidak On karena tidak dibayar retribusinya.






