Oleh : Fathul Arif Sekretaris ICMI Muda Sumedang
Rebo Wekasan atau hari Rabu terakhir di bulan Safar pada tahun 1444 Hijriyah. Jatuh pada hari Rabu 24 Safar atau pada pada tanggal 21 September 2022.
Beberapa aktivitas yang dilakukan sebagian kaum muslimin selama hari Rabu (Rebo Wekasan), antara lain berdo’a. Seperti tahlilan, berbagi sedekah makanan baik dalam bentuk tumpeng maupun selamatan, sampai melaksanakan salat sunah lidaf’il bala berjamaah.
Perlu diketahui bahwa bulan Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriyah Islam. Setelah Bulan Muharam selesai, maka bulan Safar akan muncul dan harus dilalui umat Islam hingga memasuki bulan berikutnya.
Dengan datangnya bulan Safar masyarakat Arab kuno jahiliyyah beranggapan dapat mendatangkan kesialan.
Padahal bulan Safar merupakan bulan dari bulan-bulan Allah SWT yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah SWT ciptakan untuknya.
Bulan Safar Bulan sial Menurut Jahiliyah Kuno
Kaum jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab pada waktu itu, sering menganggap bahwa bulan Safar adalah bulan sial. Tasa’um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliyah dan sebagian masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini. Imam Abu Hurairah RA berkata, bersabda Rasulullah Saw, “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah Swt), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim). Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah. Karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah SWT.
Sehat atau sakit, selamat atau musibah, semua kembali kepada kehendak Allah SWT. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah Swt.
Tapi, meski semuanya kembali kepada Allah Swt, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar atau berusaha supaya terhindar dari segala musibah.
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah unta yang sakit didatangkan pada unta yang sehat”. Maksud hadits ‘laa thiyaarata’ atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah Swt, bukan terhadap makhluk atau ramalan.
Karena hanyalah sang kholik atau Allah Swt yang menentukan baik dan buruk, sial atau selamat, miskin atau kaya. Hari demi hari, bulan demi bulan atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah swt. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir baik dan takdir buruk.
Rebo Wekasan Untuk Bertawakal Kepada Allah SWT
Sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasulullah Saw dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah Swt, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah di hadapkan pada persoalan -persoalan tersebut.
Bila seorang Muslim dalam pikirannya disibukkan dengan persoalan-persoalan tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan.
Pertama, menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya.
Kedua, tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas.
Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar dan bertawakal hanya kepada Allah SWT.
Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebetulnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.
Dengan amaliyah yang biasa dilaksanakan kaum muslimin pada hari tersebut yang mencakup shalat, dzikir, doa, dan tabarruk dengan asma Allah atau ayat-ayat al-Quran yang dikenal dengan ayat Selamat.
Amaliyah tersebut dilakukan sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar terhindar dari segala macam musibah dan cobaan.
Wallahu a’lam bishawab wa sawab