INISUMEDANG.COM – Penderita Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) umumnya akan mengalami syok ketika dirinya divonis.
Tak hanya itu, selama dua bulan semenjak si penderita divonis, akan muncul banyak keluhan. Seperti psikosomatik, psikologis terus juga dari fisiknya juga karena ada mual dan muntah tidak nafsu makan dan penurunan berat badan.
Bahkan, stigma negatif atau kurangnya dukungan dari lingkungannya, terkadang mengganggu psikologis penderita TBC-RO yang berujung kematian.
Kepala Puskesmas Desa Sukagalih Kecamatan Sumedang Selatan Ida Warlida mengatakan. Hal yang paling penting untuk membantu penyembuhan penderita TBC-RO adalah adanya dukungan dari berbagai lingkungan dan pendampingan secara psikologis dan fisik Puskesmas.
“Yang paling utama itu berkenaan tentang dukungan psikologis dari semua pihak kepada penderita TBC-RO. Dan biasanya dengan dukungan yang baik setelah berjalan waktu 5 bulan si penderita sudah mulai nyaman dan merasa kembali semangat untuk kesembuhannya”. Kata Ida saat ditemui IniSumedang.Com belum lama ini di rumah kerjanya.
Lebih lanjut Ida menuturkan, kurangnya dukungan dan pendampingan mengakibatkan sebagian besar para penderita TBC-RO terganggu psikologisnya, sehingga jarang yang berhasil untuk sembuh dan berakhir dengan meninggal dunia.
Dukungan Bagi Penderita TBC-RO Solusi Percepatan Penyembuhan
“Seharusnya, para penderita TBC-RO ini mendapatkan dukungan maksimal supaya psikologisnya tetap terjaga dan semangat hidupnya besar dan ini memungkinkan percepatan penyembuhan bagi para penderita,” tegasnya.
Adapun untuk penderita TBC-RO yang terdata di Puskesmas Sukagalih sendiri, kata Ida, saat ini berjumlah dua orang penderita, yaitu berusia 26 tahun (pria) dan juga 58 tahun (perempuan).
“Pengobatan keduanya berjalan lancar, dan kedua pasien selalu datang ke kami untuk mengambil obat dan berkonsultasi. Dan proses pengambilan obat sendiri, tentunya didampingi oleh petugas dari puskesmas ke RSHS Bandung,” ucapnya.
“Kita juga bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, yang menyediakan obat-obatan gratis dari Pemerintah dan obatnya ada di RSHS Bandung,” sambungnya.
Kendati demikian, Ida berharap ada bantuan secara materi bagi para penderita TBC-RO dari pemerintah.
“Penderita TBC-RO ini jumlahnya tidak banyak. Jadi seharusnya mendapatkan bantuan materi dari pemerintah. Dan saya juga sudah berusaha maksimal untuk penanganan penderita TBC-RO ini. Tapi akan lebih baik jika pemerintah juga memperhaitkan segi ekonominya supaya tingkat kesembuhannya tinggi,” tuturnya.
“Karena yang menjadi masalah juga dikala penderita ini harus berjuang untuk kesehatannya, namun disisi lain juga harus berjuang untuk keluarganya. Jadi alangkah baiknya ada perhatian khusus dari pemerintah untuk segi ekonominya sebagai upaya lain untuk kesembuhan penderita TBC-RO,” ujarnya menambahkan.