Berita  

Ombak Jabar dan WALHI Rilis Kerusakan Lingkungan Hidup Terparah di Jabar

Foto: Kerusakan Lingkungan Hidup (Istimewa)

INISUMEDANG.COM – Sepanjang kurun waktu 15 tahun lamanya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat bersama lembaga jaringan di Jawa Barat telah menetapkan wilayah Jawa Barat sebagai daerah yang memiliki nilai tertinggi terhadap kerusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu, Walhi menetapkan kerusakan lingkungan di Jabar dengan istilah Java Collapse.

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin Iwang mengatakan kerusakan di bumi Tatar Pasundan hingga sepanjang pantai selatan, disertai di berbagai daerah Kabupaten/Kota dengan degradasi kerusakan yang sangat signifikan. Bahkan beragam pula kasus kerusakan yang tersebar di 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.

“Berbagai kebijakan pada era presiden Jokowi telah banyak menciptakan kehancuran alam yang berujung terhadap kemiskinan bagi masyarakat di kalangan menengah ke bawah. Hak atas ruang hidup serta berbagai relasi antar manusia dengan alam semakin jauh. Lebih dari itu, dapat dikatakan perampasan ruang rakyat semakin nampak dan terstruktur,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Inisumedang.Com, Rabu (5/6/2024).

Mengutip laporan PBB tahun 2018, ribuan ilmuan dan peninjau pemerintah sepakat untuk membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C. Termasuk didalamnya negara Indonesia yang memiliki angka tertinggi dalam kasus perubahan iklim secara makro. Pertemuan G20, G7 dan COP 29 pada 2023 telah menyepakati bahwa suhu global tidak melebihi ambang batas 1,5 derajat celcius. Namun, jika melihat dokumen hasil perjanjian Internasional yang mengikat secara hukum per tahun 2016 yang menetapkan dampak kenaikan gas rumah kaca supaya tidak melibihi ambang batas 2 derajat celcius tidak dapat dibuktikan tercapai pada tahun ini.

Ini Baca Juga :  Kepala Kantor SAR Bandung Pantau Sejumlah Posko Siaga SAR Khusus Idul Fitri

“Delapan tahun pasca Perjanjian Paris, kami menagih komitmen pemerintah untuk tidak melebihi ambang batas suhu sebesar 1,5 derajat celcius. Salah satu penyumbang terbesar pelepasan emisi yang berdampak terhadap peningkatan efek gas rumah kaca (GRK) yaitu Karbon dioksida dan Metana. Gas tersebut dapat dihasilkan dari beberapa kegiatan; PLTU Batubara, PLTU Captive, Co-firing, RDF, dan juga tidak lepas dari kegiatan pembukaan lahan dengan skala besar, kebakaran hutan, aktivitas kendaraan serta aktivitas tambang,” ujarnya.

Wahyudin menambahkan, jika disandingkan pada kurun waktu selama 8 tahun ini pasca disepakatinya dalam pertemuan PBB, aktivitas ekstraktif masih mendominasi kenaikan suhu global yang tinggi; berdampak terhadap krisis iklim, musim tidak menentu, suhu meningkat dan bencana kerap terjadi. Dari semua fakta tersebut mencerminkan bahwa pemerintah kita belum dapat dikatakan secara serius mengimplementasikan komitmen yang disepakati pada perjanjian Internasional.

Wahyudin menambahkan, Jika merujuk kepada laporan BPS tahun 2022, bahwa Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Provinsi Jawa Barat dalam peringkat Ke-3 dari total jumlah Kab/Kota di Provinsi Jawa Barat. Dalam rentang waktu 2 tahun hingga saat ini angka IKLH cenderung mengalami peningkatan. Adapun angka nilainya mencapai sebesar 64,66 poin dalam katagori sedang, nilai ini lebih rendah 7,76 poin dari nilai IKLH yang ditetapkan oleh standar Nasional, seiring dengan berbagai rencana kegiatan infrastruktur, kegiatan kondominium/Bisnis Property dan Binsis wisata alam semakin marak dan tidak dapat terhindarkan.

Ini Baca Juga :  Ini Nama Desa yang Mendapatkan Program PTSL dari BPN Sumedang Tahun 2023

“Hal tersebut belum memotret bagaimana keruskan yang terjadi dimikro Das, Sub Das dan DAS di Jawa Barat serta kerusakan yang terjadi di Pesisir Laut dan ekosistem lautnya, Buruknya IKLH Provinsi Jawa Barat dapat dilihat setidaknya sebagai berikut,” ujarnya.

Pertama, indeks Kualitas Air, berdasarkan data yang dirilis dalam dokumen Laporan Kinerja Tahun 2023 Direktorat Pengendalian Pencemaran Air, Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Indeks Kualitas Air di Jawa Barat memperoleh nilai 46,87 poin. Angka ini menurun 0,26 Poin dari tahun 2022
dan termasuk pada kategori kurang baik (waspada).

Artinya, ada kecenderungan kualitas air di Jawa Barat semakin memburuk. Angka yang pernah menjadi klaim Gubernur Jawa Barat bahwa IKA Sungai Citarum mengalami kenaikan mencapai 50 lebih, perlu di ingat bahwa situasi itu cenderung meningkat disebabkan salah satunya Virus Covid-19, yang dimana sebagai besar pabrik tidak beroperasi, sehingga
kenaikan IKA sungai Citarum dapat sedikit disimpulkan karena Covid-1.

Ini Baca Juga :  Mengenang 14 Tahun Wafatnya Presiden Soeharto

Kedua, Indeks Kualitas Udara, Indeks Kualitas Udara Jawa Barat mencapai 81,39 poin. Posisi ini berada di kategori Sedang. Sedangkan, berdasarkan Indeks kualitas udara (AQI) dan polusi udara PM2.5 di
Jawa Barat, kualitas udara di Jawa Barat cenderung pada kategori warna Oranye (Tidak sehat bagi kelompok Sensitif) dan Merah (Tidak sehat), sementara jika melihat secara spesifik kualitas udara di
cekungan Bandung per tanggal 31 Mei hingga 02 Juni dalam katagori merah (tidak aman untuk untuk manusia). Sumber data (AQI) pengatan polusi udara dan PM 2,5.

Ketiga, indeks Tutupan Lahan (Tuplah), Di Jawa Barat, perubahan bentang alam, degradasi lahan serta alih fungsi kawasan semakin tinggi. Itu terjadi baik di kawasan hutan, alih fungsi kawasan terjadi di zona
resapan air, zona konservasi, zona hutan lindung hingga zona cagar alam. Kerusakan serupa terjadi di wilayah pedesaan. Intervensi kerusakan dapat di lihat mulai dari kawasan Mikro DAS, Subhingga DAS. Banyak persoalan bencana yang dipicu oleh alih fungsi kawasan hulu dan lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi peruntukkan lain seperti perumahan mewah. Juga kekacauan penataan ruang lain, demi segelintir orang.