Sumedang, 29 September 2025 – Tradisi adat Ngaruat Jagat kembali digelar di Desa Situraja, Kabupaten Sumedang, Senin (29/9/2025). Acara ini menjadi momen penting bagi warga untuk mengekspresikan rasa syukur atas rezeki dan hasil bumi yang melimpah, sekaligus melestarikan warisan budaya leluhur yang terus hidup di tengah masyarakat.
Camat Situraja, Cecep Supriatna, menegaskan bahwa ritual Ngaruat Jagat bukan sekadar prosesi adat, melainkan sebuah ungkapan syukur dan perenungan mendalam tentang harmoni manusia dengan alam.
“Acara ini bukan hanya upacara adat, tetapi bentuk rasa syukur atas limpahan rezeki dan hasil bumi yang melimpah di Desa Situraja,” ujarnya.
Tema “Talaga di Awang-awang”
Tahun ini, Ngaruat Jagat mengusung tema “Talaga di Awang-awang” yang mengangkat filosofi pohon kelapa sebagai simbol keberlanjutan dan kemanfaatan. Cecep menjelaskan bahwa setiap bagian dari pohon kelapa memiliki manfaat besar, mulai dari akar hingga buahnya, sehingga menjadi pengingat bagi masyarakat untuk bijak memanfaatkan sumber daya alam.
“Talaga di Awang-awang bukan hanya simbol, tapi juga membawa pesan edukatif tentang bagaimana kita bisa belajar dari pohon kelapa yang serba guna. Dari akarnya yang kuat hingga daunnya yang bisa dijadikan kerajinan, pohon kelapa mengajarkan kita tentang pentingnya memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak,” jelas Cecep.
Filosofi ini menjadi inti dari perayaan, mengingatkan warga tentang ketabahan, kesederhanaan, dan kebermanfaatan dalam kehidupan sehari-hari.
Antusiasme Warga dan Pesan Kebersamaan
Acara adat tersebut diikuti dengan antusias oleh masyarakat Situraja. Kehadiran warga dari berbagai lapisan menunjukkan kuatnya ikatan kebudayaan yang terus diwariskan lintas generasi.
Pj Kepala Desa Situraja, Tatang Sulaeman, menyampaikan apresiasinya kepada seluruh warga yang terlibat dalam menjaga kelestarian tradisi.
“Semoga kita semakin kompak dalam kebersamaan. Tradisi ini perlu terus ditingkatkan dan diperbaiki dari tahun ke tahun agar semakin bermakna bagi masyarakat,” ucap Tatang.
Pesan itu menekankan pentingnya solidaritas sosial dan kekompakan dalam menjaga identitas budaya.
Pohon Kelapa sebagai Simbol Kehidupan
Pohon kelapa yang dijadikan simbol utama dalam Ngaruat Jagat mengandung makna filosofis yang dalam. Dalam berbagai budaya Nusantara, termasuk Bali, pohon kelapa kerap dimaknai sebagai lambang kesucian, ketabahan, dan manfaat hidup.
Akar yang kokoh mencerminkan fondasi keimanan yang kuat, batang yang tegak melambangkan keteguhan, sementara buah dan daun menggambarkan kebermanfaatan yang bisa dirasakan oleh banyak orang. Filosofi ini menjadi ajakan agar masyarakat meneladani sifat pohon kelapa dalam kehidupan sehari-hari.
Warisan Budaya yang Relevan
Tradisi Ngaruat Jagat membuktikan bahwa nilai budaya lokal tetap relevan di tengah modernisasi. Lebih dari sekadar seremoni, ritual ini menjadi wadah spiritual sekaligus media edukasi yang menanamkan nilai syukur, kebersamaan, dan kepedulian terhadap lingkungan.
Cecep menegaskan bahwa tradisi seperti ini perlu dijaga dan diwariskan kepada generasi muda, bukan hanya untuk mempertahankan identitas, tetapi juga untuk menguatkan karakter masyarakat.
Inspirasi untuk Daerah Lain
Pelaksanaan Ngaruat Jagat di Situraja diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk terus melestarikan tradisi serupa. Nilai-nilai yang terkandung dalam acara adat ini sejalan dengan upaya memperkuat kearifan lokal sekaligus memperkaya khazanah budaya bangsa.
Tradisi yang berpadu dengan filosofi pohon kelapa memberikan pesan universal: hidup harus bermanfaat, sederhana, dan penuh syukur. Nilai-nilai tersebut tidak hanya relevan bagi masyarakat Situraja, tetapi juga bagi komunitas lain di Indonesia.
Ritual Ngaruat Jagat Situraja menjadi refleksi mendalam tentang bagaimana budaya dan alam saling terhubung. Dengan filosofi pohon kelapa sebagai simbol, tradisi ini mengajarkan tentang kebermanfaatan hidup, kebersamaan, dan kekuatan spiritual.
Pesan yang disampaikan Camat Cecep Supriatna dan Pj Kades Tatang Sulaeman mempertegas pentingnya menjaga warisan leluhur untuk generasi mendatang. Antusiasme warga yang terlibat menunjukkan bahwa budaya lokal masih berakar kuat, sekaligus menjadi energi untuk menghadapai masa depan dengan nilai-nilai kebersamaan.
Ngaruat Jagat bukan hanya perayaan adat, melainkan juga simfoni syukur yang mempertemukan spiritualitas, filosofi alam, dan solidaritas sosial dalam satu ruang kebudayaan yang kaya makna.