INISUMEDANG.COM – Dampak pandemi Covid-19 masih dirasakan sejumlah pelaku UMKM di Jatinangor dan Tanjungsari, meski kini kian melandai. Mereka mengaku tak bisa menutup biaya produksi hingga harus merumahkan sebagian karyawannya.
Daman salah seorang perajin ukiran kayu di Cipacing Kecamatan Jatinangor mengaku sejak 2 tahun lalu, selagi pemerintah menerapkan darurat Covid-19, pemasaran ke luar Jawa dihentikan. Bahkan, pemasaran di sekitar Jatinangor pun mati total lantaran tidak adanya pelancong yang datang ke Sumedang atau Garut.
“Biasanya sebelum pandemi habis 105 buah patung kayu dan beberapa panahan. Sekarang, mau laku satu juga sulit, padahal pandemi covid-19 sudah tidak berlaku dan kini kian melandai,” katanya.
Akibatnya, dia harus mengurangi produksi dan dikerjakan sendiri. Paling dibantu oleh anak atau istrinya. Dia pun berharap, bantuan pemerintah untuk pelaku UMKM ada lagi, Minimal untuk biaya makan sehari-hari.
“Mengajukan sudah lewat desa, tapi belum cair juga. Katanya harus ada berkas berkas surat keterangan tercatat di Diskoperindag. Tapi kan saya produksi rumahan kecil,” katanya.
Hal senada dikatakan Owner Warung Sate Leces Gaul, H Eet Sunarya menurutnya, setelah Covid dan mulai masuk sekolah tatap muka justru pengunjung berkurang dari tahun sebelumnya. Menurutnya, biaya beban sekolah dan situasi ekonomi belum merata menyebabkan sepinya pengunjung.
“Sejak lebaran Idul Adha, belum terjadi lonjakan pengunjung. Paling sekitar 50 persen dari hari hari normal,” ujarnya.
Belum lagi, akan adanya isu kenaikan harga BBM yang mencapai Rp3000 per liter dari harga normal. Sebut saja, Pertalit yang awalnya Rp7.500 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Jelas dampaknya dirasakan masyarakat yang berimbas menurunnya jumlah konsumen.
“Memang tidak hanya saya warung sate, semua pelaku usaha pun sedang mengalami penurunan omzet. Bahkan pedagang sayuran pun di pasar caringin ikut sepi, harga harga pada turun karena memang tidak ada pembeli,” tandasnya.