INISUMEDANG.COM – Umat islam di seluruh dunia khususnya Indonesia akan menginjak bulan Suci Ramadan pada tanggal 12 Maret 2024. Tinggal sepekan lagi, biasanya 1 hari menjelang puasa, masyarakat Indonesia khususnya di tataran Pasundan (Jawa Barat) terkenal dengan istilah munggahan.
Lalu, apa arti Munggahan itu sendiri dan bagaimana menurut pandangan islam?
Menurut Istilah kata atau Etimologi, kata Munggahan sendiri berasal dari kata Unggah (Hanyat, bahasa Sunda,red). Yang kemudian ditambahkan imbuhan Munggah atau beranjak dari hal hal biasa ke hal yang istimewa (naik derajat). Munggahan, bisa diartikan sebagai tradisi riang gembira menyambut datangnya (mapag, bahasa Sunda,red) bulan suci Ramadan.
Kemudian, istilah Munggahan diperluas menjadi merupakan tradisi menyambut bulan puasa Ramadhan dikenal masyarakat suku Sunda atau Jawa Barat.
Dengan demikian, munggahan memiliki makna berjalan atau keluar dari kebiasaan yang kerap dilakukan sehari-hari, menuju ke kebiasaan yang diatur dalam agama islam seperti tidak makan dan melakukan maksiat di siang hari.
Munggahan juga bertujuan agar masyarakat terhindar dari perbuatan yang tidak baik selama menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Biasanya, sebagian masyarakat Jawa Barat melakukan mandi di sungai atau di sumber air permukaan (danau, air terjun, sumber mata air) untuk menghilangkan hadas dan kotoran.
Meski tidak semua warga Jabar melakukan ini, namun umumnya terutama di perkampungan sebuah tradisi Sunda khususnya, Munggahan menjadi agenda penting yang harus dilalui oleh seluruh masyarakat. Masyarakat biasanya mengisi tradisi Munggahan dengan cara-cara berikut ini.
- Bepergian ke tempat wisata,
- Membersihkan makam keluarga,
- Membersihkan seluruh anggota badan dengan keramas sebagai sunnah Rasulullah SAW,
- Saling meminta maaf kepada orangtua, teman, sahabat dan kerabat.
- Acara makan besar atau Botram
Lalu, bagaimana sebenarnya hukum munggahan tersebut dalam Islam?
Dai Kondang, Buya Yahya dalam siaran Youtube nya menjelaskan hukum munggahan dalam Islam diperbolehkan dengan syarat tidak ada unsur keyakinan di dalamnya. Atau tidak mewajibkan sesuatu yang tidak dicontohkan Nabi Muhamad.
Keyakinan yang dimaksud, kata Buya Yahya seperti melakukan tradisi tersebut dengan meyakini bisa mendatangkan rezeki atau menolak bala.
“Misalnya, kita percaya sesuatu tersebut bisa mendatangkan rezeki, itu termasuk musyrik. Jadi gak usah dilakukan. Tapi kalau semata mata acara Munggahan itu bentuk rasa syukur dan kegembiraan kita menyambut bulan suci Ramadan, itu diperbolehkan, tapi hukumnya tidak wajib,” ujarnya.
Lebih lanjut, Buya Yahya menjelaskan setiap daerah memiliki tradisi menyambut bulan puasa Ramadhan. Ia menyebut umumnya tradisi tersebut dilakukan adanya keyakinan selain kepada Allah SWT. Oleh karena itu, menurutnya selama tradisi tersebut tidak buruk maka boleh dilakukan.
“Kebiasaan baik jangan dihilangkan, asal tidak ada maksud buruk,” ujarnya.
Buya Yahya melihat tujuan munggahan tersebut seperti memberikan makanan dan bersedekah maka hal itu dibolehkan.