INISUMEDANG.COM – Sebagian umat muslim di seluruh nusantara tengah melaksanakan tradisi Rebo Wekasan (pungkasan). Rebo Wekasan adalah hari Rabu terakhir bulan Safar dalam penanggalan Hijriah. Seyogianya pada malam tersebut mengisi dengan amalan kebaikan yang bisa mendatangkan rahmat dan ampunan Allah.
Bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial.
Rabu terakhir bulan Safar ghalib di bumi Nusantara disebut dengan istilah rebo wekasan, rebo kasan, rebo pungkasan, atau istilah lain yang merujuk pada maksud yang sama yaitu hari Rabu akhir di bulan Shafar.
Terdapat beberapa sumber kitab yang menyebutkan tentang rabu terakhir di bulan Shafar berikut amaliyahnya dengan menukil dari para masyayikh sufi, di antaranya: Kanz al-Najah wa al-Surur karya ‘Abdul Hamid Quds al-Makki (w. 1917), Mujarrabat al-Dayrabi karya al-Dayrabi (w. 1801 M), Nihayat al-Zain karya Syekh Nawawi (w.1897 M), Na’t al-Bidayah.
Masalah Rabu Wekasan (Rabu terakhir di bulan Shafar) menjadi dinamika yang harmonis di kalangan para ulama kita, ada yang berkenan mengamalkan dan ada yang tidak berkenan. Namun tidak saling membidahkan, apalagi menyesatkan. Pada umumnya, para ulama yang mengamalkan adalah para kiai yang mengamalkan tarekat. Sebab, kitab-kitab yang menjelaskan masalah ini kebanyakan terdapat dalam kitab yang berkaitan dengan tarekat.
Pengasuh Ponpes Al Wardiyah Bahrul Ulum, Jombang KH Abdul Choliq Mustaqim mempunyai cerita sendiri soal Rabu Wekasan. Berdasarkan sejarah, kata Abdul Choliq, mitos tersebut muncul karena sejumlah bencana yang menimpa umat terdahulu.
“Zaman dahulu telah tercatat bahwa ada sejumlah umat yang diberi bencana oleh Allah karena keingkarannya,” katanya belum lama ini.
Dia mencontoh kaum Nabi Nuh AS, Kaum Aad zaman Nabi Hud, dan Kaum Tasmud yang ingkar diberi bencana yang dahsyat oleh sang maha pencipta.
Di zaman Nabi Hud, Allah memberikan cobaan dengan bertahap. Tahap pertama, bencana yang diturunkan yakni berupa kekeringan melanda ladang-ladang dan kebun-kebun.
Bangsa Aad dilanda kecemasan dan kegelisahan karena tidak memperoleh hasil dari ladang-ladang dan kebun-kebun seperti biasanya.
Seperti diwahyukan kepada Nabi Hud, Bangsa Aad melakukan berbagai cara agar hujan datang, namun hal tersebut justru didatangkan azab ke dua yakni gumpalan awan dan mega hitam yang tebal.
Mereka kemudian menyambut dengan sorak-sorai gembira, karena dikira hujan akan segera turun membasahi ladang-ladang dan menyirami kebun-kebun mereka yang mengalami kekeringan.
Bukan turunnya hujan, tetapi angin topan dahsyat dan kencang disertai bunyi gemuruh yang datang. Angin tersebut kemudian merusakkan bangunan rumah warga dan binatang, sehingga beterbangan semuanya. Kaum ‘Aad menjadi panik, mereka berlari hilir mudik mencari perlindungan.
“Suami tidak tahu di mana istrinya berada dan ibu juga kehilangan anaknya, sedang rumah-rumah menjadi sama rata dengan tanah. Bencana angin topan itu berlangsung selama delapan hari tujuh malam, sehingga menyapu bersih kaum ‘Aad yang congkak. Ini menjadi pelajaran atau ibroh bagi umat-umat yang akan datang. Adapun Nabi Hud dan para sahabatnya yang beriman telah mendapat perlindungan Allah,” paparnya.
Peristiwa ini tertulis jelas dalam kitab suci Alquran, mulai bencana Kaum Nabi Nuh, Kaum Aad, dan Kaum Tsamud.
Lantas apa hubungannya, kisah tersebut denga hari ‘Rebu Wekasan’? Kiai asal Lamongan, Jawa Timur, itu menjelaskan, rentetan kejadian musibah itu sama waktunya.
Beberapa ulama berpendapat bahwa kejadian itu terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Shofar atau istilah penanggalan Jawa bulan Safar.
Seperti pendapat Umam Ibnu Mas’ud Al Bagawi dalam kitab Tafsir Maalimu Al-Tanjil halaman 430 menyebut, kejadian itu tepat pada hari Rabu Terakhir (Yaumi Nahsin Mustamir) dari bulan Safar.
“Meski sampai saat ini masih berbeda pendapat, kita hanya bisa mengambil hikmahnya,” ujarnya.
Sebaiknya, amaliyah yang biasa dilaksanakan pada hari tersebut yang mencakup shalat, dzikir, doa, dan tabarruk dengan asma Allah atau ayat-ayat al-Quran yang dikenal dengan ayat Selamat. Amaliyah tersebut dilakukan sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar terhindar dari segala macam musibah dan cobaan.