INISUMEDANG.COM – Berbicara masalah sejarah kolonial Belanda di Indonesia khususnya di Sumedang, tak lepas dari sejarah pembangunan jalur kereta api yang melintas dari Jatinangor (Jembatan Cincin) sampai Tunggul Hideung Pamulihan.
Ternyata selain kedua itu, ada jembatan Cigondok yang membentang dari Desa Cilayung Kecamatan Jatinangor ke Desa Sukarapih Kecamatan Sukasari lalu tembus ke Jalan SS di Tanjungsari.
Daerah Jatinangor yang dulunya sebagian besar merupakan wilayah perkebunan. Hal tersebut telah memicu terjadinya suatu perubahan yang mungkin tak terduga ketika itu. Pembangunan lintas kereta api dimulai sekitar 26 tahun sejak memasuki abad ke-20 oleh perusahaan SS (Staatsspoorwegen) milik Belanda dengan dibangunnya lintas-lintas cabang penghubung kota-kota kecil dan kota besar. Lintas-lintas tersebut salah satunya ialah lintas Rancaekek-Jatinangor (1921).
Jalur kereta api Rancaekek – Jatinangor Tanjungsari terletak di lingkup wilayah DAOP 2 Bandung. Jalur tersebut digunakan untuk angkutan penumpang dan angkutan komoditi barang.
Menurut Encu Priatna (85), pembangunan jalan kereta api tersebut hanya sampai Tanjungsari tepatnya sampai Tunggul Hideung (Citali) dikarenakan sudah terlalu banyaknya korban jiwa berjatuhan ketika berlangsungnya pembangunan.
Seperti yang kita tahu, jalur perlintasan kereta api milik Belanda itu hanya jembatan Cincin saja yang terletak di desa Hegarmanah Kecamatan Jatinangor.
Namun, ada dua jembatan yang mirip jembatan Cincin namun tidak sepanjang jembatan Cincin. Namanya jembatan Cigondok yang berlokasi di Dusun Cinumbang Desa Cilayung Jatinangor. Dahulu di Jatinangor belum terbentuk masyarakat Cinumbang karena Dusun Cinumbang termasuk pada Desa Cilayung. Sedangkan Desa Cilayung merupakan desa pemekaran sekitar tahun 1985 dari Desa Cileles.
Kesengsaraan, Kekerasan, dan Banyak Korban Mewarnai Pembangunan Jalur Kereta Api
Pada masa penjajahan Belanda, areal perkebunan pohon karet dan teh di Jatinangor dimiliki oleh seorang pria berkebangsaan Jerman bernama W.A. Baron Baud. Ia bersama perusahaan swasta milik Belanda pada tahun 1841 mendirikan perkebunan karet yang luasnya mencapai 962 hektar.
Jalur Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari pun habis ketika masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1942. Jalur itu dibongkar atau dieksploitasi karena sudah tidak dipakai lagi. Sedangkan sumber lain menyatakan bahwa terjadi pembongkaran atau penghapusan jalan kereta api termasuk lintas Rancaekek-Jatinangor, karena ketika masa pemerintahan Jepang adanya penghapusan lintasan lama yakni bekas lintasan yang dibangun oleh pemerintah SS (Belanda) dan diganti dengan lintasan dan lajur baru oleh pemerintah Jepang serta digunakan sebagai benteng pertahanan Jepang dalam melawan sekutu.
Sejak adanya pembangunan jalan kereta api pada masa Belanda di Jatinangor khususnya, telah berdampak kesengsaraan pada penduduk pribumi sekitar Jatinangor karena ketika itu banyak penduduk pribumi yang dipekerjakan secara paksa dan dengan kekerasan. Penduduk pribumi menuruti begitu saja perintah Belanda karena mereka merasa takut terancam nyawanya.
Korban jiwa berjatuhan seiring dengan berjalannya pembangunan jalan kereta api tersebut. Adapun dalam hal perekonomian, penduduk setempat tidak diupah sama sekali dan malah menguntungkan pihak Belanda.
Jembatan bekas jalan kereta api masa Belanda yang ditutup dan tidak berfungsi lagi sejak masa penjajahan Jepang, kemudian setelah melewati masa kemerdekaan dialihfungsikan atau dipergunakan oleh penduduk Jatinangor di sekitar jembatan tersebut sebagai jembatan penghubung arus kendaraan dan sebagai akses jalan alternatif untuk mempermudah akses antar manusia, antar desa antar kecamatan maupun dalam cakupan yang lebih luas.
Jembatan bekas jalan kereta api Cigondok di Cinumbang khususnya banyak digunakan sebagai jalan alternatif bila disepanjang jalan dari Cileunyi menuju Sumedang macet parah sehingga banyak kendaraan yang memotong jalan melewati jembatan Cinumbang tersebut.
Bangunan Dengan Dominasi Material Batu alam
Pada tahun 1950-an, di Jatinangor terdapat pabrik Karet Jatinan. Pada tahun tersebut pula kondisi di Tanjungsari belum mengalami perubahan yang cukup signifikan. Kawasan tersebut ketika zaman Belanda disebut Landbouw (daerah pertanian). Hasil pertanian serta ternak banyak dijual-belikan di pasar Tanjungsari.
Sementara jarak jalur kereta api dari Jatinangor ke Pamulihan itu berkisar 12 KM. Beberapa sisa jalur kereta api masih aktif digunakan warga sebagai jalan umum hingga kini. Namun beberapa diantaranya non aktif atau bahkan hanya menyisakan puing-puingnya saja.
Seperti yang tampak di Kampung Tunggul Hideung, Desa Ciptasari, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang. Dua buah puing bangunan bekas jembatan tampak terlihat diantara aliran sungai Cipelas yang memisahkan keduanya.
Bangunan yang berada di area pesawahan warga itu, kedua bangunannya berbentuk kotak. Satu bengunan berukuran sekitar 2×3 meter dengan tinggi 3 meter dan satu bangunan lainnya berukuran 2×3 meter dengan tinggi 4,5 meter.
Bangunan yang didominasi dengan material batu alam itu, satu bangunannya terdapat ruang kosong di tengahnya dengan membentuk setengah lingkaran cincin. Sementara bangunan yang lainnya, terdapat dua buah ruang kosong dengan membentuk dua buah setengah lingkaran cincin secara bertumpuk.
Kedua bangunan tersebut masih kokoh berdiri meski tampak belum rampung dikerjakan. Itu terlihat dari belum adanya rel kereta api yang melintang diatasnya.
Bangunan Yang Merupakan Sisa Bangunan Belanda
Menurut warga sekitar Toha Hamdani. Bangunan tersebut merupakan sisa bangunan Belanda yang rencananya akan digunakan sebagai jembatan bagi perlintasan kereta api. Namun, perlintasannya tidak keburu atau batal untuk dibangun.
“Menurut orang tua dulu, ini itu rencananya untuk jembatan perlintasan kereta api untuk jalur Rancaekek menuju ke Sumedang,” kata Toha.
Masih menurut orang tuanya, kata Toha, jalur perlintasan kereta api jalur Rancaekek menuju Sumedang yang dibangun Belanda hanya sampai stasiun Tanjungsari.
“Dari dulu bentuk bangunannya seperti ini, sementara jalur rel kereta api baru sampai Tanjungsari,” terangnya.
Toha mengatakan, puing jembatan ini rencananya akan menghubungkan mulai dari kawasan Kecamatan Tanjungsari seperti Pagaden, Ciluluk, Puskopad, Cikondang lalu Tunggul Hideung di Kecamatan Pamulihan.
“Dari Tunggul Hideung, rencana jalurnya dilanjutkan ke Cijeruk di Cadas Pangeran,” ujarnya.