Kisah Penemuan Alat Seni Ratusan Tahun, yang Kini Menjadi Seni “Ajeng Jangkar Alam” di Sumedang

Seni Ajeng Kabupaten Sumedang
Seni Ajeng (Istimewa)

INISUMEDANG.COM – Seni Ajeng adalah salah satu kesenian asli Kabupaten Sumedang, tepatnya berasal dari Desa Cipelang, Kecamatan Ujungjaya. “Ajéng”adalah nama sebuah kesenian dan juga nama seperangkat alat musik.

Dikisahkan Kepala Bidang Kebudayaan pada Disparbudpora Kabupaten Sumedang Mohamad Budi Akbar bahwa dengan Seperangkat alat musik seni Ajeng mirip dengan perangkat alat musik gamelan. Yang diantaranya terdiri dari Koromong, kempul (gong kecil), dan Goong (gong).

“Alat musik ini dulunya diketemukan dalam sebuah penggalian yang dilakukan oleh Eyang Jagakerti dalam pembuatan saluran air, ketika sedang menggali tana. Tiba-tiba pada kedalaman tertentu Eyang Jagakerti menemukan seperangkat alat musik, alat-alat musik tersebut terkubur dan terlilit ditengah akar-akar tanaman yang sangat banyak. Sehingga dulunya alat musik ini dinamai Jangkar Alam, karena ditemukan di tengah lilitan-lilitan akar”. Tutur Budi kepada IniSumedang.Com beberapa waktu lalu di ruang kerjanya.

Ini Baca Juga :  Gembrong Liwet di Desa Citali Sumedang, jadi Pertanda Sudah Mendekati Bulan Ramadan

Kalau merunut dari sejarah awalnya, sambung Budi, alat musik Seni Ajeng ditemukan oleh Eyang Jagakerti. Jagakerti adalah anak bungsu dari Sultan Jaya Ningrat, beliau mempunyai tiga saudara yaitu Ranggawati, Waragati, dan Puragati.

“Pada Suatu ketika, Sultan
Jaya Ningrat mengutus keempat anaknya untuk membuat saluran air di Tegal Burangrang, Gunung Garunggang, yang terletak di daerah Ranji Kabupaten Majalengka sekarang. Namun, hanya Jagakerti yang menyanggupi permintaan
ayahnya tersebut,” tutur Budi.

Jagakerti Dibantu Embah Kadar

Dalam melaksanakan tugasnya, lanjut Budi, Jagakerti dibantu oleh seseorang bernama Embah Kadar dan juga dibantu oleh masyarakat setempat. Ketika penggalian sedang dilakukan, pada kedalaman tertentu ditemukan sebuah benda berupa alat musik Kempul (gong kecil), setelah itu ditemukan 28 benda
lain berupa Koromong, dan yang terakhir ditemukan Gong besar pada saat mengakhiri penggalian saluran air.

Ini Baca Juga :  Kabupaten Bandung Jadi Tuan Rumah Lomba Ketangkasan Domba Garut

“Sebelum diambil, kesemua benda tersebut berada dalam lilitan-lilitan akar yang menyerupai jangkar. Sehingga awalnya alat musik ini dinamai Jangkar Alam. Setelah barang-barang temuan tersebut diangkat dan dibersihkan, lalu
coba dimainkan sebagai alat musik, ternyata masih berfungsi dengan baik dan akhirnya menjadi seni tradisional,” jelasnya.

Masih kata Budi, pada suatu waktu, perkembangan keadaan membuat Jagakerti harus pindah dari Ranji (Majalengka) ke daerah Belendung (sekarang Cipelang, Sumedang). Bersama Embah Kadar, Jagakerti membawa serta Jangkar Alam untuk pindah ke daerah Belendung. Hingga Jagakerti dan Embah Kadar meninggal dunia.

Kesenian Jangkar Alam masih selalu dimainkan sebagai salah satu wasiat Jagakerti untuk melestarikan kesenian tersebut. Alat musik Jangkar Alam selanjutnya diwariskan
secara turun-temurun pada keturunannya, sebagai sebuah pusaka (benda bersejarah),” paparnya.

Ini Baca Juga :  Kampung Adat Ciptagelar, Sukabumi: Keunikan Budaya yang Megah di Jawa Barat

Lebih jauh Budi menjelaskan, kesenian ini bersifat instrumental dengan laras Mataraman. Alat musik yang digunakan berupa keromong, gong, ketuk, kecrék dan kendang. Lagu yang dimaikna antara lain, Renggong Buyut, Papalayon, Engko, Salí Asih, Barlen, dan Jiro Pandan Ora.

“Seni Ajeng selalu dipentaskan diacara-acara tertentu. Terutama acara adat ritual hajat lembur yang setiap tahun selalu dilaksanakan di makam keramat Embah Buyut Jayakerti sebagai bentuk penghormatan kepada leluhurnya. Dan saat ini Seni Ajeng Jangkar Alam sudah berproses untuk di tetapkan Warisan Budaya Tak Benda sebgaai warisan Budaya Asli Indonesia,” ujarnya menandaskan.