INISUMEDANG.COM – Mengenang jejak sejarah Yayasan Islam pesantren Al-Ma’mun Dusun Gunungdatar Desa Gunturmekar Kecamatan Tanjungkerta Kabupaten Sumedang Jawa Barat.
Jejak sejarah pesantren ini dituturkan versi seorang tokoh masyarakat yang juga pelaku sejarah Desa Gunturmekar, Iskandar (68) yang akrab dipanggil pak Ison.
Cerita dulu turun temurun, kata Ison, mungkin sekitar tahun 1920-an ketika masa Kolonial Hindia Belanda dan wilayah ini masih belum bernama Gunturmekar. Ada seorang tokoh agama yang sangat kerkenal bernama Haji Ma’mun.
“Beliau merupakan figur guru ngaji yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat, sebagai cikal bakal berdirinya Yayan Islam Al-Ma’mun sekarang,” ungkap Ison di Desa Gunturmekar, Senin (7/3/2022).
Waktu itu, ada beberapa ajeungan atau ustad guru ngaji. Selain Haji Ma’mun sebagai pupuhu (pelopor), ada Haji Jumyati, guru ngaji asal Garut yang sampai saat ini masih ada keturunannya di Tanjungkerta.
“Tidak hanya warga Gunturmekar, tapi dari wilayah lain berbondong-bondong belajar ngaji ke tempat pengajian yang masih berupa rumah biasa. Waktu itu belum ada gedung, tapi masih rumah panggung bilik bambu atau rumah adat sunda milik pak Haji Ma’mun,” tuturnya.
Kemudian, lambat laun rumah panggung tempat pengajian itu dikenal masyarakat dengan nama Pesantren Haji Ma’mun meskipun hanya rumah biasa.
“Guru ngaji yang istrinya Siti Rokayah itu (Haji Ma’mun) merupakan guru besar dan tokoh agama penuh wibawa sangat dihormati. Dia seorang guru yang keras dalam menerapkan ajaran Islam, namun penuh kasih sayang terhadap para santrinya,” ujarnya.
Karena kharismatiknya itu, sebut Ison, beliau dipanggil Kangjeng Pangeran Bupati Sumedang menjadi guru ngaji di kaum sekaligus imam besar Masjid Agung Sumedang.
Aktivitas Pesantren Sempat Bubar Karena Adanya Gerombolan DI/TII
Setelah Haji Ma’mun wafat di Sumedang, lanjut Ison, aktivitas pesantren bubar akibat datangnya gerombolan Di/TII. Sehingga waktu itu banyak masyarakat Gunturmekar yang dievakuasi atau diungsikan.
“Karena hampir semua masyarakat diungsikan, maka kondisi wilayah Gunturmekar kembali menjadi hutan belantara selama 17 tahun, “ujarnya.
Setelah benar-benar aman, maka saudara Haji Ma’mun (alm) yaitu Ustad Empu Mahdup pulang dari pengungsian (Bandung) meneruskan dan menghidupkan kembali aktivitas pesantren yang sempat bubar karena adanya gerombolan DI/TII.
“Waktu itu, saya masih duduk sekolah dasar (SD). Saya dibawa keluarga bersama masyarakat lainnya, belajar ngaji Al-Qur’an dan belajar shalat di rumah pak Ustad Empu,” katanya.
Ustad Empu adalah seorang guru ngaji terkenal dan dihormati. Bahkan dia, pernah jadi Juru Agama sehingga secara resmi diangkat guru agama di Madrasah.
Karena terkenalnya, pesantren dibawah guru ngaji Ustad Empu ini, ratusan santri berdatangan dari berbagai daerah. Sehingga cara mengajar dibagi dalam beberapa tahap, berdasarkan umur para santri tersebut.
Bahkan santri dewasa, lanjutnya, pulang ngaji hingga larut malam dengan masing-masing membawa obor untuk penerangan jalan yang waktu belum ada listrik termasuk pemukiman yang masih jarang.
“Setiap Rabu, ada bantuan guru ngaji yaitu pak Suja’i masih anaknya pak Haji Ma’mun (alm) kakaknya pak uki (Subki Ma’mun). Pak Suja’i ini merupakan ketua Pengadilan Agama Sumedang yang pertama,” sebutnya.
“Cita-cita pak Uki itu (Subki Ma’mun) ingin meneruskan mendiang bapaknya (Pesantren Haji Ma’mun). Pak Uki itu merupakan bapaknya H. Donny Ahmad Munir yang saat ini menjadi Bupati Sumedang,” ungkapnya.
Dulunya hanya sebuah pesantren pak Haji Ma’mun. Kini terus dikembangkan anak cucunya dengan berdirinya Yayasan Islam Al-Ma’mun. Jumlah santri mencapai sekitar 400 santri tidak hanya dari Sumedang, bahkan dari bogor dan bekasi.
Disebutkan, perkembangan pesat pendidikan agama di yayasan Islam yang meliputi pendidiksn SMP Plus, SMK Informatika. Pondok Pesantren – TKA – TPA – Majelis Ta’lim Pokestren – Kopontren.