Berita  

Jamran Rancakalong Menyisakan Kekecewaan Bagi Sebagian Pedagang dan Pengunjung

Jamran Rancakalong di Wisata Panenjoan Desa Pasirbiru Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang

INISUMEDANG.COM – Pelaksanaan jambore ranting (jamran) tingkat kecamatan Rancakalong menuai kekecewaan sejumlah pedagang dan Pengunjung. Pasalnya, disinyalir pengelola tempat wisata Panenjoan Desa Pasir Biru sebagai tempat lokasi Jamran dinilai tebang pilih ke pedagang.

Tak hanya itu, Warga dan orang tua peserta Jamran pun dimintai tiket berkali-kali meski sudah jelas peserta Jamran.

Buntut ketidak adilan pengelola terhadap pedagang dan Pengunjung, sebagian pedagang bahkan mengobrak ngabrik meja dagangan karena dagangannya tak laku dibeli. Dengan alasan, lokasi berdagang ditempatkan pengelola di Tempat yang tidak strategis dan jauh dari kerumunan peserta.

Jajang misalnya, salah seorang pedagang cilung (aci digulung) mengaku tak bisa masuk ke tempat lokasi berjualan karena ditentukan oleh pengelola. Pengelola pun mengaku menarif Rp50 ribu per hari kepada pedagang yang mau masuk ke tempat lokasi Jamran.

“Jadi gini, pengelola itu sama sama berjualan bahkan menyediakan lapak yang telah ditentukan di Tempat strategis. Beda dengan pedagang lain yang sudah ditempatkan di lokasi yang jauh. Ini kan jadi kecemburuan sosial, kemudian, setiap kami keluar ingin belanja dan mengambil barang kemudian masuk lagi harus bayar lagi tiket Rp3000 belum tiket berjualan Rp50.000 per hari. Kan jelas ini terlalu diada-adakan. Disaat pemerintah sedang menggalakkan UMKM, kami malah dijegal aktivitas kami dibatasi,” ujarnya, Kamis (8/9/2022).

Ini Baca Juga :  Dua Balita Tewas Akibat Kebakaran Rumah di Sumedang, Api Diduga dari Korsleting Listrik

Menurut Jajang, tak hanya dirinya pedagang lain pun mendapatkan perlakuan yang sama. Pengelola tidak mengakomodir semua pedagang padahal ini dalam rangka pemulihan ekonomi pemberdayaan pelaku UMKM. Bahkan, pedagang masuk ke tempat Jamran tidak gratis melainkan membayar.

“Apalagi kalau gratis, tidak bayar. Mungkin kami akan diusir gak boleh berjualan. Kan ini acara setahun sekali, kemudian bukan acara satu kelompok atau organisasi. Melainkan acara Pramuka,” ujarnya.

Hal senada dikatakan guru pembimbing menurutnya meski menjadi guru tetapi tetap dimintai tiket masuk dan tiket parkir. Bahkan tiga hari dirinya keluar masuk lokasi Jamran harus membayar tiket parkir.

Ini Baca Juga :  WOM Finance Sumedang Salurkan Daging Kurban di Sekitar Kantor Cabang

“Kan dimana-mana juga kalau pembimbing mendapatkan akses khusus, contoh setingkat Buper Kirpay juga, saya berkali kali keluar masuk tidak pernah bayar. Karena saya memakai seragam pramuka lengkap dan bertugas membimbing anak anak. Coba kalau kata pembimbing gak mau di Tempat ini, kan bisa jadi dibatalkan,” ujarnya.

Sementara itu, Totoh selaku pengelola acara Jamran di Wisata Alam Panenjoan mengatakan jika kekisruhan yang terjadi di Jamran Rancakalong sudah diclearkan dan sudah dimusyawarahkan. Bahkan, pihak pengelola sudah memanggil beberapa pedagang yang merasa dirugikan atas kejadian ini. Termasuk guru pembimbing dan Pengunjung dalam hal ini perwakilan orang tua peserta Jamran.

“Sudah kami klarifikasi dan kami jelaskan, memang ada aturan sendiri dari panitia internal Jamrannya, pedagang asongan dilarang masuk ke area Jamran dikhawatirkan menggangu jalannya acara. Kemudian, terkait tiket masuk memang dikenakan tarif Rp3000 bagi siapa saja yang keluar masuk area,” tegasnya.

Ini Baca Juga :  Ratusan Siswa Siswi SMA PGRI Parakanmuncang Sumedang Ikuti Smart Tren Ramadan 1444 H

Menurutnya, jika ada pedagang atau pengunjung yang merasa dirugikan atas kejadian ini harap menghubungi pengelola wisata. Jangan main di belakang atau berbicara ke luar yang bukan kompeten.

Menurut informasi bahwa pengelolaan lahan objek wisata Panenjoan tempat acara Jamran di Rancakalong digelar dikelola dan dimonopoli oleh keluarga mantan pejabat sehingga warga lain tidak bisa ikut serta, selain itu juga warga sekitar mengeluhkan atas ketidak nyamanan selama kegiatan berlangsung karena jalur lalu lintas menjadi terhambat.

Padahal, dalam aturan tanah carik desa atau lahan milik negara hanya boleh dikelola oleh lembaga atau orang yang benar benar mendapatkan legalitas resmi. Bukan dikelola oleh orang-orang pilihan dengan dalih kekuasaan.