Berita  

Ini Curhatan Bacaleg, Mengenai Mahalnya Cost Politik Menuju Parlemen

Cost Politik
Ilustrasi (Foto: Internet)

INISUMEDANG.COM – Tahapan Pemilu 2024 sudah memasuki masa pendaftaran bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) untuk Pemilihan DPRD Kabupaten Sumedang. Namun, beberapa bakal calon masih “nyumput” (menutup diri,red) karena belum jelasnya apakah Pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup atau terbuka.

Selain itu, masih malunya Bacaleg sosialisasi ke permukaan karena biaya (cost) politik yang dinilai mahal, karena masyarakat saat ini sudah terlalu pragmatis dan lebih memilih jalur instan ketimbang jalur program panjang.

Bukan rahasia umum lagi, masyarakat sekarang lebih suka dengan calon yang berduit ketimbang calon yang hanya mengubar janji kontrak politik yang diminta. Sebagai contoh, banyak masyarakat yang memilih lantaran diberi amplop tetapi tidak tahu program dan visi misi calegnya seperti apa.

Ini Baca Juga :  Majelis Kehormatan MK Dibentuk Usut Pelanggaran Kode Etik, Ini Harapan PKB

Dikatakan salah seorang bakal Caleg dari Dapil 5 (Cimanggung Jatinangor) yang enggan disebut namanya mengatakan. Jika saat ini untuk menjadi caleg harus banyak uang ketimbang program. Sebab program atau visi misi bisa dirumuskan belakangan setelah jadi dewan.

“Masyarakat sekarang lebih suka yang instan ketimbang yang memiliki program berkelanjutan. Mereka lebih memilih amplop yang nilainya sekian dari pada program yang berkelanjutan. Ini dampak dari pendidikan politik kita yang jelek,” katanya, Kamis (11/5/2023).

Suara Rakyat Dengan Cara Sogok, Akan Lahir Pemimpin Yang Tidak Pro Rakyat

Contoh lain, masyarakat yang sudah memiliki pilihan kepada salah satu caleg bisa pindah memilih ke calon lain karena uang dalam amplop nya lebih besar. Sehingga jangan salah jika mendapatkan suara rakyat dengan cara disogok maka akan lahir pemimpin yang tidak pro rakyat.

Ini Baca Juga :  Mengerucut, Anies-Muhaimin, Kemungkinan Prabowo Gibran dan Ganjar Erick Tohir Mengemuka

“Jadi istilah demokrasi pada saat ini lebih cocok istilah democrazy. Karena sistem demokrasi kita hancur akibat salah pendidikan politik,” katanya.

Akibatnya, cost politik menjadi anggota dewan menjadi membengkak. Masih mending menggunakan uang sendiri, bagaimana jika ada caleg yang menggunakan uang pengusaha atau uang hasil meminjam.

“Maka ketika caleg itu jadi dewan, maka akan didikte oleh pengusaha tersebut. Mereka akan kaku karena sudah dibantu oleh pengusaha tersebut. Bahkan banyak kebijakan pengusaha yang tidak menguntungkan rakyat namun malah dibantu oleh dewan tersebut,” katanya.

Ini Baca Juga :  Aneh Tapi Nyata, Di Jawa Tengah Ada Satu Kampung Yang Fasih Berbahasa Sunda

Sehingga, lanjut caleg tersebut, sulit menemukan calon yang benar benar bekerja untuk rakyat dan demi kepentingan rakyat. Karena untuk mendapatkan kursi di DPRD  juga dengan kost politik dan cara cara yang tidak elegan.

“Misalnya, jika calon tersebut jadi dewan, maka yang ada dipikirannya bagaimana mengembalikan uang bekas kampanye dulu. Bukan bekerja fokus ke rakyat,” tandasnya.