INISUMEDANG.COM – Pasca banjir bandang yang terjadi di Dusun Cisurupan Desa Sawahdadap Kecamatan Cimanggung Kabupaten Sumedang. Pemkab Sumedang tengah melakukan evakuasi dan pemulihan daerah terdampak longsor. Namun, banyak yang belum paham titik permasalahan penanganan banjir bandang itu dari mana dan penyebabnya apa.
Dosen Sekolah Ilmu Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Yayat Hidayat S.Hut M.Si mengatakan. Dugaan penyebab banjir bandang itu karena adanya bagian hulu sungai yang sudah rusak ekosistemnya. Semisal, pembukaan lahan baru, atau penanaman pohon yang tidak diharuskan di tanam di lereng gunung dengan kemiringan diatas 40 derajat.
“Kalau dilihat dari foto drone jelas problem utama kejadian longsor adalah kekurang hati-hatian dalam pengelolaan lahan di daerah hulu. Dimana kondisi topografi lahannya sangat curam dan aktifitas pengelolaan lahan yang intensif tanpa menerapkan kaidah konservasi tanah dan air yang tepat. Pemilihan komposisi jenis tanaman yang kurang tepat dimana didominasi tanaman semusim (palawija) yang sensitif erosi misalnya singkong, ubi, jahe merah. Ditambah dengan pengolahan lahan yang intensif yang seharusnya pada lahan sangat curam itu harus minim pengolahan lahan (low tillage),” ujarnya Selasa (20/12/2022).
Prioritas Penanganan Banjir Bandang
Menurut Yayat, prioritas penanganan banjir bandang bukan di daerah hilir (di badan sungai Cisurupan) tetapi di daerah hulu (titik kejadian longsor). Strategi solusinya adalah pertama Penyusunan rancangan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Ada dua pendekatan pertama adalah pendekaran vegetatif kedua pendekaran sipil teknis. Pendekatan vegetatif lebih difokuskan dalam rangka upaya peningkatan penutupan lahan. Agar lahan tidak terbuka luas; memperkuat struktur tanah, peningkatan kapasitas infiltrasi, pengurangan laju erosi permukaan, menjaga kesuburan lahan. Serta memberikan nilai manfaat ekonomi dari komoditas vegetasi yang ditanam.
Pendekatan sipil teknis lebih difokuskan dalam rangka upaya meningkatkan stabilitas lahan (tanah) dan memperbaiki saluran drainase air. Prinsipnya saluran drainase tersier harus lancar tidak boleh terhambat (terbendung). Diatur sedemikian rupa tutuk pertemuan antar drainase hingga ke titik saluran utama (badan sungai Cisurupan).
Daya rusak dari laju aliran air pada saluran drainase harus ditekan serendah mungkin dengan membuat desain penguat tebing saluran. Seperti dibangun DAM penahan, DAM pengendali, drop structure, crucuk, kirmir, rorak, teras dll sesuai dengan kondisi lapangan.
Strategi langkah kedua Sosialisasi hasil rancangan kepada para pihak terkait termasuk masyarakat dan pemerintahan. Agar rancangan dipahami dan timbul kesadaran dan dukungan dari para pihak untuk mengimplementasikannya.
“Diharapkan ada partisipasi dari masyarakat yang sangat tinggi dalam upaya pelestarian alam,” ujarnya.
Langkah ketiga, tindakan aksi pasca bencana longsor, sesuai dengan hasil perancangan sebelumnya. Tindakan ini tindak boleh hanya sesaat tetapi harus berkelanjutan dengan melibatkan banyak pihak (penta helix). Masyarakat petani penggaraplah yang akan mengawal ini dalam durasi waktu yang lama.
“Perancangan harus melibatkan para ahli di bidangnya, bisa berasal dari perguruan tinggi, intitusi riset atau UPT teknis yang sesuai agar bekerja secara kolaboratif didukung oleh eksekutif dan legislatif,” tandasnya.