INISUMEDANG.COM – Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang memang kesehor dalam memproduksi senapan angin (bedil). Meski awalnya bukan dari Desa Cipacing melainkan dari Dusun Cikeruh Lio Desa Cikeruh Kecamatan Jatinangor, namun orang orang lebih mengenal Cipacing sebagai sentra pembuatan senapan angin.
Menilik sejarahnya, industri senapan angin di Desa Cipacing telah berlangsung hampir satu abad silam. Usaha ini dirintis pertama kali oleh Raden Nata Dimadja tahun 1854. Namun, selanjutnya tidak ada kabar perihal perkembangannya.
Sampai awal 1960-an, terdapat catatan resmi dari generasi kedua Raden Nata Dimadja. Saat itu, jumlah perajin senapan angin yang berada di Desa Cikeruh dan Cipacing Kecamatan Jatinangor bisa dihitung dengan jari. Itu pun hanya terbatas pada jasa perbaikan atau bengkel senapan angin luar negeri.
Karena hasil usaha yang dirasakan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup, para perajin itu pun kemudian memutar otak. Berbekal pengalaman memperbaiki senapan angin, akhirnya pilihan pun jatuh pada usaha untuk membuat senapan sendiri.
Raden Sa’ud dan Raden Momon merupakan tokoh perintis pembuatan usaha senapan angin ini. Raden Saud yang juga berstatus sebagai cucu Raden Nata Dimadja dikenal masyarakat sebagai satu-satunya saksi sejarah industri Cipacing yang masih hidup hingga sekarang.
Tak hanya pengetahuan membuat senapan angin yang disebarluaskan oleh lelaki yang telah uzur ini. Keringat hasil jerih payahnya ternyata membuat ngiler penduduk lain di Desa Cikeruh. Hasilnya, antara tahun 1964 sampai 1967 jumlah perajin bertambah menjadi 12 orang. Kemudian, dari tahun 1968 sampai 1970 perajin di Cikeruh menjadi 23 orang dan di Cipacing mencapai sembilan orang.
Alih Profesi Tenaga Buruh Jadi Pengrajin Senapan Angin Di Tahun 1981-1992 Menjadikan Jumlah Pengrajin Meningkat
Seiring perkembangan zaman, pengetahuan membuat senapan angin pun menyebar luas sampai sekarang. Berdasarkan catatan Koperasi Industri Kerajinan Senapan Angin Bina Karya, sampai tahun 1979, jumlah perajin senapan angin mencapai 200 orang. Persebarannya juga meluas. Desa-desa lain di Jatinangor, seperti area Desa Sayang, Hegarmanah, Jatiroke, dan Jatimukti, tidak mau ketinggalan memproduksinya. Artinya, sejak dirintis sampai tahun 1979, jumlah perajin senapan angin meningkat.
Puncak menjamurnya industri senapan di Cipacing terjadi antara tahun 1981 sampai 1992. Jumlahnya mencapai 300 perajin dan 20 pedagang. Kenaikan ini menurut Edi Suhaidi, Ketua Koperasi Industri Kerajinan Senapan Angin Bina Karya diakibatkan adanya alih profesi yang dilakukan para buruh. Setelah Desa Cikeruh masuk dalam kecamatan Jatinangor, banyak buruh kemudian berganti profesi menjadi perajin senjata. Bagi mereka, pekerjaan ini ternyata lebih menggiurkan dibandingkan pergi merantau ke luar kota.
Pergantian generasi tidak menyurutkan animo penduduk untuk menggeluti usaha pembuatan senapan angin. Pada 1992, pemerintah dalam hal ini Polri mengeluarkan aturan baru yang mengharuskan perajin senapan angin membentuk sebuah koperasi. Tujuannya tak lain adalah mendapatkan izin dari Mabes Polri.
Ternyata, untuk mendapatkan izin memiliki senjata api tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemohon harus memenuhi beberapa persyaratan seperti yang diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1948 tentang pendaftaran dan pemberian izin pemakaian senjata api.
Setelah berunding dan melalui proses yang cukup panjang, tokoh perajin senapan angin di Cipacing dan Cikeruh sepakat untuk membentuk koperasi. Sayangnya, pada saat itu, waktu yang diberikan Polri tergolong sempit, sehingga tidak memungkinkan mereka membentuk sebuah koperasi. Untuk sementara, para pengrajin itu bergabung dengan KUD Cikeruh menjadi Unit Kerajinan Senapan Angin Bina Karya. Dengan adanya koperasi ini, Polri kemudian mengeluarkan izin penjualan senjata yang berlaku selama lima tahun, terhitung sejak 1992. Izin ini harus diperpanjang tiap lima tahun sekali.
Senapan Angin Diproduksi Untuk Mempersenjatai Diri Terhadap Gerakan DI/TII
“Sebetulnya kemampuan membuat senapan angin itu awalnya dari Cikeruh karena Cipacing itu dulunya bandar (pengepul). Warga Cipacing hanya menjual, mereka punya toko,” kata perajin bedil di Desa Cikeruh Idih Sunaedi, beberapa waktu lalu.
Idih yang menjabat sebagai Kepala Koperasi Bina Karya, tempat bernaungnya para perajin dan penjual bedil Cikeruh ini menuturkan, pembuatan bedil di Cikeruh berlangsung sejak 1960. Saat itu, bedil sengaja diproduksi untuk mempersenjatai diri terhadap gerakan DI/TII di Garut.
“Namanya dorlok, didor terus dicolok (ditusuk). Diproduksi untuk Organisasi Keamanan Desa (OKD) atas seizin Danrem dan Kodim yang digunakan untuk melawan DI/TII,” sebut Idih.
Selepas gerakan DI/TII berhasil diredam, dorlok dilarang beredar. Sekira 1964, para perajin bedil di Cikeruh memproduksi senapan angin secara mandiri. Warga membeli bedil dari luar negeri. Lalu dibongkar untuk dipelajari detailnya.
“Saat itu warga Cipacing mengambil senapannya dari sini. Mereka awalnya menjual saja. Penjualnya lebih banyak (daripada di Cikeruh). Lama-lama, ikut belajar bikin bedil,” ungkapnya.
Perlahan namun pasti, nama Cipacing menjadi kesohor. Tak heran karena Cipacing berada persis di pinggir Jalan Nasional III Bandung Garut. Tak hanya itu, banyak juga toko berjejeran di pinggir jalan tersebut yang memudahkan orang untuk melihat aneka senapan angin. Sementara Cikeruh memang berada di dalam kawasan perkotaan dan jauh dari jalan nasional. Sehingga dipandang sebagai satelit belaka. Buktinya imej sentra bedil telah melekat pada Cipacing.
Bahkan di Cipacing tepatnya di depan SPBU Al Ma’soem ada patung orang membidik dengan senapan angin. Patung itu kemudian menjadi simbol bahwa di Cipacing itu identik dengan kerajinan bedil maka disebut patung Pabeci (Paguyuban Bedil Cipacing).
Bersambung ke bagian 2….