INISUMEDANG.COM – Berbicara masalah sampah memang menjadi masalah yang sulit ditanggulangi. Pengelolaanya pun bukan perkara mudah.
Sampah yang tak dikelola dan dibiarkan menumpuk akan menimbulkan masalah baru bagi pencemaran lingkungan. Salah satunya sampah plastik yang paling sulit untuk dikelola. Sebab, perlu ratusan tahun bakteri tanah untuk mengurainya.
Dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) pun, sampah plastik tetap tidak mudah dikelola. Berbeda dengan sampah organik yang bisa diolah menjadi pupuk atau makanan maggot tanpa teknologi yang begitu rumit dan mahal.
“Ya sampah plastik bisa menimbulkan pencemaran lingkungan, dalam jumlah besar bisa menyebabkan bencana banjir. Juga menimbulkan efek buruk bagi kesehatan karena bau, atau bencana ekologis lainnya. Berbeda dengan sampah organik, bisa sangat bermanfaat, bisa menjadi pupuk kompos, contohnya,” kata Deki Ismailudin, Penggagas Sedekah Sampah, saat membuka diskusi umumnya dengan Jaringan Ngebon Minggu, Minggu (30/1/2022) di Cimanggung, Sumedang.
Deki sendiri mengadakan program sedekah sampah dilatar belakangi adanya celah-celah yang ditinggalkan pihak-pihak berwenang dalam pengurusan sampah. Celah itu yakni, kesadaran warga akan bahaya sampah. Selain itu, Deki melihat masih banyak warga yang kebingungan membuang sampah sehingga dibuang kemana saja. Dari pada dibuang kemana saja, kemudian, Deki bersama timnya menjemput sampah ke rumah rumah warga.
Konsep Sedekah, Dengan Harapan Imbalan Pahala dan Konsep Sadar Bahaya Sampah
Dia kemudian memadukan konsep sedekah, yakni memberi dengan cuma-cuma dengan (hasil penjualan sampah yang dia dapatkan dari sedekah sampah warga) dengan harapan imbalan berupa pahala, dan konsep sadar akan bahaya sampah itu.
“Ini bukan menyasar pengolahan sampah secara meyeluruh di Cimanggung. Sebab, hal itu terlalu meluas dan telah ada pihak-pihak berwenang seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH) yang telah menangani. Ini murni menumbuhkan kesadaran warga,” katanya.
Tim sedekah sampah membuat keranjang khusus sampah non-organik dan baru disebar ke 10 titik di Kecamatan Cimanggung. Sampah yang terkumpul kemudian dipilah berdasarkan jenisnya. Lalu dijual dan hasilnya dikembalikan kepada warga kurang mampu dalam bentuk yang lain.
“Sebanyak 50 persen keuntungan dari sedekah sampah digunakan untuk bakti sosial, 30 persen operasional, 10 persen kas, dan 10 persen lagi simpanan untuk program kami membeli ambulans untuk dipakai masyarakat,” kata Deki.
Hanya dengan tumbuhnya kesadaran, lambat laun persoalan sampah bisa teratasi bahkan sejak dari rumah. Paling tidak, tumbuh kesadaran warga untuk tidak membuang sampah di jalan, di sungai, atau di tempat-tempat yang bisa membuat lingkungan tidak elok dan tidak sehat.
Pembicara lain di dalam diskusi “Ngokolakeun Runtah Sangkan Lingkungan Endah, Genah, tur Merenah”, Luvina Oktavia Lukman Putri mengatakan langkah sedekah sampah patut diapresiasi.
Mahasiswi Teknik Lingkungan Intitut Teknologi Nasional (Itenas) itu mengatakan bahwa di Sumedang, belum ada pola pengolahan sampah di TPAS yang betul-betul baik.
Plastik-plastik yang menjadi sampah, jikapun berakhir di TPAS tetap akan menimbulkan masalah baru.
“Di TPAS itu, air lindi yang merupakan air paparan hujan pada tumpukan sampah tidak dikelola dengan baik, malah dialirkan langsung ke sungai, ini juga termasuk bahaya pencemaran baru,” katanya.
Sejauh ini, Provinsi Bali, menurut Luvina adalah yang paling bagus pengelolaan sampahnya, Yakni, dengan penggunaan mesin insenerator yang canggih.
Luvina berujar, dengan persoalan sampah yang begitu kompleks, sejatinya pengolahan sampah harus dimulai dari lingkungan paling kecil, yakni keluarga.