INISUMEDANG.COM – Ngalaksa merupakan upacara adat yang dilaksanakan masyarakat adat Rancakalong, Kecamatan Rancakalong Kabupatén Sumedang.
Awalnya, Ngalaksa dilaksanakan oleh orang perorang, perkeluarga ditempat yang sunyi. Dan jadwal pelaksanaannya pun dikaitkan dengan jadwal bersawah sebagaimana halnya budaya masyarakat agraris.
Menurut Kepala Bidang Kebudayaan pada Disparbudpora Kabupaten Sumedang Muhamad Budi Akbar. Bahwa, pada masa sekarang ini pelaksanaan ngalaksa dilaksanakan setahun satu kali dan biasanya diawal Bulan Juli. Namun, apabila pada Bulan Juli bertepatan dengan Bulan Puasa pelaksanaannya akan diundur ke bulan berikutnya.
“Sesuai dengan hasil musawarah adat setempat. Upacara adat ngalaksa dilaksanakan secara bergiliran oleh lima rurukan yaitu : Rurukan Rancakalong, Rurukan Nagarawangi, Rurukan Pamekaran, Rurukan Pasir Biru, dan Rurukan Cibunar. Kemudian tempat pelaksanaanya dipusatkan di Desa Wisata yang berada di Desa Rancakalong,” tutur Budi kepada IniSumedang.Com beberapa waktu lalu di ruang kerjanya.
Pada jaman dahulu, kata Budi, masyarakat Rancakalong yang kehidupannya dari bertani mengalami musibah. Karena tanaman padinya tidak dapat dipanen (mengalami masa paceklik). Sedangkan untuk menanam kembali mereka tidak mempunyai bibit padi lagi karena habis dimakan.
Hanjeli Pengganti Padi
“Jadi, karena stok makanan sudah habis, maka untuk mencegah terjadinya kelaparan, sesepuh (tokoh masyarakat) memutuskan agar masyarakat menanam Hanjeli sebagai pengganti padi yang ternyata hasil panennya melimpah,” ujarnya.
Pada suatu ketika terjadi malapetaka, Sambung Budi, seorang anak meninggal di dalam gudang tertimbun biji Hanjeli, sehingga sesepuh ‘Ragrag ucap’ (memutuskan) untuk tidak lagi menanam hanjeli dan masyarakat agar kembali menanam padi.
“Konon, bibit padi pada waktu itu hanya ada di Mataram dan untuk mendapatkannya sangat sulit karena ada larangan dari penguasa Mataram bahwa padi tidak boleh dibawa keluar wilayahnya terutama ke wilayah Pajajaran. Maka sesepuh Rancakalong mengutus dua orang seniman Jentreng bernama Embah Raguna dan Embah Wira Negara untuk berangkat menuju Mataram,” terang Budi.
Masih kata Budi, berkat kecerdikan mengelabui petugas pemeriksa dengan menyamar sebagai pengamen seniman Jentreng. Maka kedua orang tersebut berhasil membawa bibit padi ke Rancakalong dengan cara memasukan bibit padi ke dalam jentreng (kecapi) dan sejak saat itu masyarakat Rancakalong dapat menanam padi kembali.
“Menurut cerita dari mulut ke mulut, sesepuh terkemuka yang memohon petunjuk Hyang Maha Kuasa itu adalah tokoh yang bernama Eyang Emod Al Muhari berasal dari kampung Cibungur Kecamatan Rancakalong, beliau mendapat julukan sebagai petani yang ulet,” kata Budi bercerita.
Pada suatu ketika, lanjut Budi, ia mendapat petunjuk untuk menemui tokoh yang berada di Desa Solokan Jarak Majalaya. Tetapi ia disuruh pulang kembali dengan alasan ia akan menjadi seorang pemimpin. Namun ketika sampai di rumah beliau menderita sakit yang luar biasa sampai meninggal dunia.
“Sebelum meninggal dunia, ia memberi pesan kepada orang banyak untuk menjalankan kebiasaan Ngalaksa, sejak saat itulah kebiasaan Ngalaksa dilakukan dan sejak saat itu juga hasil pertanian sangat memuaskan,” ucap Budi lagi.
Rangkaian Upacara Adat Ngalaksa Rancakalong
Budi menyebutkan, rangkaian kegiatan upacara Adat Ngalaksa diawali dari persiapan sampai selesainya terdiri dari beberapa tahap kegiatan. Adapun tahapannya adalah Bewara, Ngahayu dan Mera/Ngagunuk bahan.
“Mengawali kegiatan pelaksanaan Upacara Adat ngalaksa setelah mendapat sentuhan kemasan untuk promosi wisata budaya. Sebelum dilaksanakan upacara, maka diadakan dulu seremonial pembukaan. Pada acara ini biasanya dihadiri berbagai tamu undangan, birokrat Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang, Undangan tokoh masyarakat, Putra Daerah, Seniman Budayawan,” Sebut Budi.
Kemudian, lanjut Budi lagi, seluruh masyarakat ikut berperan aktip untuk mempertontonkan potensi seni budaya yang kemudian disusun dalam suatu antraktip seni pertunjukan helaran. Pada acara prosesi pembukaan ini subtansi kegiatannya adalah pembukaan secara simbolis oleh Bupati Sumedang selaku pemangku Budaya. Yang ditandai dengan penyerahan babon dari Rurukan penyelenggara ngalaksa tahun sebelumnya kepada Bupati Sumedang.
“Maka dari itu, kemudian Bupati Sumedang menyerahkan kepada ketua rurukan yang akan melaksanakan upacara. Dan kemudian babon diarak bersama-sama menuju Desa Wisata tempat dilaksanakannya upacara. Setibanya di Desa Wisata sudah disajikan suguhan seni tarawangsa. Yang akan mengiringi prosesi upacara dari awal sampai akhir pelaksanaan upacara,” ujarnya lagi.
Prosesi Kegiatan
Diawali oleh ketua Rurukan, lanjut Budi, yang bertindak sebagai saehu pameget yang didampingi saehu istri, maka mulailah pentas seni Tarawangsa. Setelah saehu pameget dan saehu istri menari. Dilanjutkan oleh para tamu undangan dan tokoh masyarakat lainya untuk bersama-sama sampai acara selesai.
“Pelaksanaan proses membuat laksa bisa berhari-hari dan setiap harinya selalu diiringi dengan alunan seni Tarawangsa. Setelah selesai prosesi pembukaan esok paginya baru dilanjutkan dengan tahap upacara, Meuseul Bakal, Ngibakan/ ngageulisan, Nginebkeun, Mesel beas/ Nipung, Membuat adonan, Membuat orok-orokan,” tuturnya.
Proses membuat laksa ini biasanya mengahabiskan waktu sampai enam hari. Laksa yang sudah matang dibagikan kepada masyarakat. Dulunya laksa merupakanmakanan untuk bekal diperjalanan/peperangan.
“Upacara adat Ngalaksa merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat sumedang. Karena keragaman budaya adalah merupakan bagian dari kebudayaan, yang sarat dengan kandungan kearifan lokal. Nilai tradisi ini adalah merupakan salah satu media yang sangat evektif dalam kerangka pembangunan sebuah bangsa,” Imbuhnya.
Makna dari upacara adat Ngalaksa ini, tambah Budi. Didalamnya terkandung, Wujud Gotong royong, Silaturahmi, Persaudaraan, kesatuan dan persatuan, kerja sama, perwujudan rasa syukur kepada yang maha pencipta. Sebagai penghormatan kepada para leluhur, serta sebagai ajang untuk saling mengenal satu sama lain.
“Jadi saat ini, Upacara Adat Ngalaksa di Rancakalong Kabupatén Sumedang sedang kami ajukan untuk Penetapan Warisan Budaya Tak Benda. Dan kalau sudah di tetapkan maka adat Budaya Upacara Ngalaksa menjadi Budaya Asli Indonesia,” kata Budi mengakhiri.