Bujangga Manik, Penjelajah Asal Sunda yang Kisahnya Mirip Marcopolo dan Laksamana Cheng Ho

Kisah Bujangga Manik
ILUSTRASI/poto Internet

INISUMEDANG.COM – Siapa yang tidak kenal dengan Marcopolo dan Panglima Cheng Ho, dua orang penjelajah dunia yang terkenal dalam sejarah.

Penjelajahan yang dilakukan oleh ini, oleh keduanya sangat membantu dalam mengungkap keberadaan peradaban di daerah yang dikunjungi dimasanya.

Karyanya keduanya, sering dijadikan sumber sejarah yang akurat, dalam mengungkap peradaban suatu daerah di Dunia ini.

Tidak banyak yang mengetahui jika di Indonesia juga, ternyata mempunyai seorang pengembara Asal Tanah Sunda, meski penjelajahan yang dilakukannya dalam skala kecil, namun dirinya berhasil mencatatkan beberapa nama daerah, sungai dan yang lainnya.

Dilansir IniSumedang.Com dari berbagai sumber Penjelajah Asal Tanah Sunda itu, bernama Bujangga Manik, seorang Pangeran dari kerajaan Pajajaran, yang bernama asli Prabu Jaya Pakuan, yang mengambil jalan hidupnya sebagai Resi.

Bujangga Manik telah melakukan perjalanan sebanyak 2 kali ke wilayah timur yaitu Jawa dan Bali. Selanjutnya ditulis dan diberi nama Naskah Bujangga Manik.

Kisah perjalanan dari tanah Sunda ke Bali yang dituangkan dalam Bujangga Manik isinya banyak menceritakan nama tempat, Sungai serta keadaan masyarakat di zamannya.

Ini Baca Juga :  10 Peninggalan Belanda di Sumedang yang Jarang Diketahui Orang, Simak Yuk Dimana Saja Tempatnya

Kisah Bujangga Manik ini banyak memberikan keterangan yang bermanfaat, dalam upaya mengungkap peradaban di indonesia di zaman, prasasti-citarum-sanghyang-tapa.

Naskah Bujangga Manik ini ditulis di daun palma (lontar) dengan menggunakan aksara (tulisan) dan bahasa Sunda Kuno, dan diperkirakan ditulis pada abad ke-15 M. Dan Naskah Bujangga Manik merupakan salah satu naskah primer peradaban Sunda yang ada hingga kini.

Seorang Intelektual dan Hidup Membujang Hingga Akhir Hayatnya

Manuskrip itu kini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, England. Sejak tahun 1627, naskah tersebut menjadi koleksi Perpustakaan Bodlelan, Oxford University Inggris.

Bujangga Manik yang seorang pangeran kerajaan Sunda (bergelar Prabu karena masih kerabat raja), dalam tulisannya ia bernama Bujangga Manik. Dan pada kisahnya tersebut, dirinya menamakan dirinya dengan nama “Ameng Layaran” (petualang yang berlayar) setelah kisah perjalanan pertamanya.

Bujang Manik melakukan penjelajahan untuk mempelajari dan memperdalam agama yang diyakininya itu. Dan dalam perjalanan hidupnya tersebut Bujangga Manik hidup membujang hingga akhir hayatnya.

Ini Baca Juga :  Misteri Air Mata Keramat di Cadas Pangeran: Jejak Keris Pangeran Kornel yang Membekas di Sumedang

Bujangga Manik merupakan seorang intelektual mumpuni di zamannya. Karena mengetahui isi kitab-kitab, mengenal susunan buku buku, mengetahui hukum dan nasehat-nasehat, dan mengenal sanghyang darma, serta menguasai bahasa jawa.

Tak hanya itu, Bujangga Manik juga dikenal sebagai pemahat patung dan ahli bangunan. Di beberapa tempat ia memahat patung, dan merenovasi kembali kabuyutan / tempat suci yang sudah terbengkalai. Dan membangun beberapa bangunan baik untuk tempat tinggalnya maupun tempat petapaanya.

Kisah Bujangga Manik Menyajikan Catatan Perjalanan Yang Mengandung Data Topografis Yang Terperinci dan Akurat

Bujangga Manik terkenal sebagai ahli geografi yang mumpuni di zamannya. Ia telah menyajikan catatan perjalanan yang mengandung data topografis yang terperinci dan akurat.

Dalam tulisannya, “Bujangga Manik’s Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source (Perjalanan Bujangga Manik menyusuri Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuna)” Noordyn, seorang peneliti asal Belanda menemukan sedikitnya 450 nama tempat (termasuk nama gunung dan sungai) dalam naskah Bujangga Manik, yang sebagian besar bersesuaian dengan topografi Pulau Jawa.

Ini Baca Juga :  Jika Arteri Sumedang Padat, Tol Cisumdawu Seksi 3 Jadi Alternatif Mudik Lebaran 2022

Dalam sastra tulisannya menunjukan bahwa dia merupakan seorang sastrawan yang hebat. Naskah Bujangga Manik, berstruktur puisi dengan delapan suku kata, berbahasa Sunda Kuno, dan panjangnya mencapai sekitar 1.758 baris.

Dalam kisah Bujangga Manik, ia mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau prosa puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis.

Sebagaimana yang diteliti oleh Teeuw, seorang penelitti asal belanda, dalam naskah ini kita mendapatkan idiom, metafora, dan pola persajakan yang menawan.

Bujangga Manik memiliki tekad yang kuat untuk mengembara, di samping penolakannya terhadap pinangan putri Raja. Dan dengan tegas mengatakan kepada ibunya diawal keinginan keberangkatannya :

“Bunda, tetaplah terjaga ketika berada di belakang, walau Bunda menarikku sekuat buaya, pertemuan ini akan menjadi saat terakhir kita bertatap muka, kau, Bunda, dan diriku, masih ada satu hari lagi, hari ini. Aku akan pergi ke Timur.” kata Bujangga Manik kepada Ibunya sebelum pergi untuk memulai penjelajahannya.

BERSAMBUNG: Bagaimana Kisah Perjalanan Bujang Manik, Ikuti berita kelanjutannya