INISUMEDANG.COM – Proses tahapan Pemilu 2024 sudah memasuki tahapan Pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP) dan verifikasi berkas bakal calon anggota DPRD Sumedang. KPU Sumedang melalui PPS telah memasang dan menempelkan DPSHP di tiap tiap TPS dari 270 PPS.
Namun, bila menemukan adanya PPS yang tidak menempelkan DPSHP di tiap TPS maka bisa dijerat pasal 489 UU Nomor 7 Tahun 2017.
“Jika PPS tak memasang DPSHP, PPS dapat dijerat pasal 489 UU 7 tahun 2017, dengan ancaman pidana 6 bulan penjara dan denda Rp6 juta rupiah. Jika secara sengaja tidak mengumumkan dan/atau tidak melakukan perbaikan data setelah mendapat masukan dari masyarakat maupun peserta pemilu,” ujar Anggota Bawaslu Sumedang, Dodoy Cardaya kepada wartawan usai menghadiri Rapat Koordinasi pembinaan aparatur pengawas Pemilu di Tanjungsari, Jumat (19/5/2023).
Menurut Dodoy, tak hanya mengumumkan tetapi PPS juga harus melakukan perbaikan atas tanggapan masyarakat mengenai daftar pemilih yang tidak terakomodir atau belum tercatat di DPS tetapi secara hukum berhak mendapatkan hak pilih. Termasuk memperbaiki data DPSHP menuju DPSHP akhir, yang selanjutnya menjadi daftar pemilih tetap (DPT).
PKD Harus Cermat Dalam Mengawasi
“Nah dalam hal ini, PKD juga harus cermat dalam mengawasinya. Pastikan tidak ada warga yang terlewat masuk DPSHP. Sebab, PKD garda terdepan dalam memberikan data di tiap desa untuk dilaporkan ke Panwaslu dan Bawaslu,” katanya.
Kemudian, selain pelanggaran pidana juga, PKD berhak mengawasi dugaan pelanggaran administratif. Misalnya tidak sesuainya tahapan sesuai peraturan KPU, atau ada tahapan yang dilewat. Maka PKD bisa berkoordinasi dengan Panwascam untuk melaksanakan penindakan dan penyelesaian sengketa.
Namun, sebelum ditindak, baiknya PKD atau Panwaslu melaksanakan pencegahan atau saran perbaikan dulu.
“Makanya paradigma Bawaslu CAT (cegah Awasi Tindak), nah hari ini berubah paradigmanya menjadi ACT (Awasi, Cegah, Tindak). Pencegahan itu hasil dari pengawasan ketika rekan-rekan menemukan dugaan pelanggaran dan sengketa, maka baiknya melakukan pencegahan dulu. Jangan pula ujung-ujung langsung didorong ke pidana,” katanya.
Menurut Dodoy ada perbedaan arti antara pelanggaran dan sengketa. Jika pelanggaran jelas jelas melanggar pasal dan UU. Sedangkan penafsiran sengketa artinya adanya perselisihan antara satu kelompok dengan kelompok lain misalkan soal pemasangan baliho. Ada satu tempat atau titik pemasangan baliho calon yang diakui oleh dua tim sukses. Nah, itu termasuk sengketa bukan pelanggaran.
“Siapa yang memberi kewenangan untuk menindak, kewenangan adalah aturan regulasi undang-undang. Dalam hal pelanggaran administratif atau sengketa, Panwaslu memiliki kewenangan. Namun terkait kewenangan penindakan pelanggaran pidana Pemilu itu ada di Bawaslu,” tandasnya.