Banjir Terparah Sepanjang Sejarah di Cimanggung Sumedang

Foto: Istimewa

SUMEDANG, 15 Maret 2025 – Warga Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, kembali dilanda banjir akibat luapan Sungai Cimande dan hujan deras yang mengguyur kawasan Cimanggung sejak jam 14.00, Sabtu 15 Maret 2025.

Setiap hujan deras mengguyur, skenario bencana yang sama terus berulang, seperti rumah-rumah tergenang, akses jalan terendam hingga warga terpaksa harus diungsikan.

Ironisnya, pemerintah datang dengan bantuan jangka pendek seperti santunan mie instan tanpa solusi jangka panjang.

Informasi yang dihimpun dari Relawan Bencana Gempa Jabar, sedikitnya empat desa kembali terdampak dalam banjir terbaru yang terjadi pada Sabtu (15/3/2025), yaitu Desa Cihanjuang, Sindangpakuon, Sindanggalih, dan Sukadana. Ketinggian air bervariasi dari 20 sentimeter hingga satu meter, merendam rumah-rumah warga.

Koordinator Gerakan Muda Peduli Alam (GEMPA), Dekki Ismailudin, menilai bahwa kondisi ini bukan lagi bencana musiman, melainkan bukti nyata bahwa pemerintah gagal menyelesaikan akar permasalahan.

Ini Baca Juga :  Rumah Warga Baleendah Disatroni Maling di Hari ke 5 Ramadan 2025

“Setiap tahun selalu begini. Setiap musim hujan, Sungai Cimande meluap, rumah-rumah kebanjiran, dan warga menderita. Tapi solusi konkret tak pernah ada,” tegasnya.

Menurut Dekki, ada banyak faktor yang menyebabkan Sungai Cimande terus meluap. Pertama alih fungsi lahan di hulu menyebabkan berkurangnya daerah resapan air. Sementara di hilir, sungai yang dangkal dan menyempit memperparah kondisi. Ditambah lagi dengan rendahnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah, yang semakin memperburuk situasi.

Ironisnya, meski Sungai Cimande terus mengalami pendangkalan, normalisasi sungai hanya menjadi sebatas wacana tanpa realisasi yang jelas. Janji untuk memperbaiki kondisi sungai hanya muncul saat musim penghujan tiba, tapi begitu air surut, semua pembicaraan hilang tak berbekas.

Ini Baca Juga :  Aksi Pencurian Motor di Cipagalo Terekam CCTV, Pelaku Dua Orang

“Pemerintah selalu bicara tentang normalisasi, tapi mana buktinya? Sejauh ini hanya pembersihan sampah di hilir saja tepatnya di perbatasan Bandung Sumedang di jembatan Pangsor. Sementara yang dibutuhkan normalisasi dari hulu ke hilir,” kata Dekki.

Namun, Dekki menyoroti bahwa tanggapan pemerintah sejauh ini masih jauh dari harapan. Setiap kali banjir terjadi, bantuan datang dalam bentuk sembako, tetapi langkah nyata untuk mencegah bencana serupa di masa depan tidak pernah terlihat.

“Kami bukannya menolak bantuan, tapi sampai kapan hanya mie instan yang diberikan? Ini bukan solusi! Kami butuh tindakan nyata, bukan sekadar respons darurat yang sifatnya sementara,” tandasnya.

Dekki menekankan bahwa normalisasi sungai yang dilakukan selama ini juga tidak maksimal. Pengerukan hanya dilakukan di hilir, sementara permasalahan utama ada di hulu yang terus mengalami degradasi lingkungan.

Ini Baca Juga :  Detik-detik Pelajar Tertabrak Motor di Banjaran Kabupaten Bandung Terekam CCTV

“Normalisasi harus menyeluruh, dari hulu hingga hilir. Bukan hanya dikerjakan saat banjir sudah terjadi, tapi harus dilakukan secara terencana di musim kemarau agar efektif,” ujarnya.

Lebih jauh, ia mengkritik pola pikir pemerintah dalam menangani bencana. Menurutnya, pendekatan yang digunakan justru terbalik.

“Mengatasi banjir harusnya dilakukan di musim kemarau, misalnya dengan pengerukan sungai. Sedangkan saat musim hujan, justru penghijauan yang harus digalakkan supaya air terserap dengan baik. Kalau ini tidak dilakukan, maka bencana akan terus terulang,” pungkasnya.

Sayangnya, hingga kini belum ada pernyataan resmi dari pemerintah terkait langkah konkret yang akan diambil untuk mencegah banjir Cimanggung di masa mendatang. Sementara itu, warga terus dihantui ketakutan setiap kali awan gelap menggantung di langit.