INISUMEDANG.COM – Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 menyebutkan bahwa diperkirakan 1 dari 160 anak di seluruh dunia mengidap Autism Spectrum Disorder (ASD). Autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pervasif anak yang tampak sebelum usia 3 tahun.
Gangguan autisme merupakan salah satu hambatan pada perkembangan yang paling kompleks karena mengganggu saraf otak pada anak sehingga tidak mampu berkembang secara normal.
Gangguan perkembangan ini ditandai adanya gangguan berkomunikasi, berbahasa, berinteraksi sosial, serta adanya ketertarikan terhadap sebuah hal dan berperilaku berulang. Berdasarkan Badan Pusat Statistik saat ini di Indonesia terdapat sekitar 270,2 juta penduduk dengan perbandingan pertumbuhan anak autis sekitar 3,2 juta anak (BPS, 2020).
Menurut penelitian yang dilakukan mahasiswa Prodi Teknologi Pangan Universitas Padjajaran, terdiri dari Endah Wulandari, Shabrina Gitta Talitha, Annisa Rosa Aprilia, dan Jessica Zivana sekitar 60% penyandang autis mempunyai sistem pencernaan yang kurang baik, sehingga beberapa jenis makanan tertentu tidak dapat dicerna dengan sempurna. Hasil pencernaan yang tidak sempurna tersebut dapat merusak otak sehingga memperberat gejala autisme.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan kandungan makanan yang akan diberikan kepada anak penyandang autis.
“Terdapat pantangan makanan yang tidak boleh diberikan kepada anak penyandang autis seperti makanan yang mengandung gluten, kasein, gula pasir, zat aditif, dan senyawa fenol tinggi. Anak penyandang autis sangat tidak disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung gluten. Hal ini dikarenakan gluten dapat mempengaruhi ketidaksempurnaan dalam proses mencerna yang berakibat pada terpengaruhinya sistem saraf pusat serta menimbulkan gangguan dalam perilaku penderita autistik,” ujar Shabrina Gitta Talitha dalam penelitiannya.
Menurut Shabrina didampingi rekan-rekan penelitianya,anak dengan autisik sangat baik mengkonsumsi produk olahan yang mengandung vitamin A, vitamin C, vitamin D, besi, thiamin,vitamin B-12, asam folat, natrium, kalium, magnesium, fosfor, dan tembaga.
Dengan ini diperlukannya suatu produk makanan yang aman dan bebas akan gluten dan kaya akan nilai gizi sebagai asupan tambahan nilai gizi.
“Produk olahan berbahan dasar tepung ubi jalar ungu dapat menjadi alternatif dalam membuat suatu makanan yang aman untuk dikonsumsi oleh penyandang autis. Dimana nilai gizi dalam tepung ubi jalar ungu mengandung vitamin A , B1, B2, B3 dan vitamin C, kalsium, fosfor, natrium, kalium, B-karoten, zinc / seng. Vitamin A dan C yang dimiliki ubi jalar ungu dapat memperkuat sistem imun pada tubuh, perkembangan otak dan reaksi metabolik. Penggunaan ubi jalar ungu dengan perubahan substitusi menjadi tepung sangatlah dianjurkan untuk menjadi bahan dasar dalam pembuatan makanan tambahan anak yang mengidap autisme,” paparnya.
Tepung sorgum juga merupakan bahan pangan lokal dari jajaran serealia yang berpotensi sebagai alternatif pengganti tepung gluten. Sorgum tidak mengandung gluten dan per 100 gram tepung sorgum mengandung 66,64 gram karbohidrat, 12,94 gram protein, 12,37 air, 4,33 gram lemak, dan 1,25 gram abu. Ada pula tepung kacang tanah yang juga merupakan bahan baku non gluten dari yang memiliki kandungan gizi antara lain protein kasar 34,58%, lemak kasar 33,68 %, serat kasar 2,19%, kalsium 3,07%, dan fosfor 0,33 %. Produk biskuit yang berbahan dasar tepung ubi jalar, sorgum, dan/atau kacang tanah dapat menjadi makanan selingan yang baik dan aman bagi anak penyandang autisme.
“Namun, perlu diperhatikan bahwa terdapat bahan-bahan dalam resep pembuatan biskuit yang merupakan pantangan bagi anak autis seperti penggunaan gula pasir dan susu sapi. Gula pasir memiliki indeks glikemik yang cukup tinggi, kenaikan gula darah dapat memicu anak autisme menjadi lebih hiperaktif dan agresif,” ujarnya.
Adapun susu sapi mengandung kasein, pada penderita autis protein kasein tidak terpecah menjadi asam amino tetapi menjadi rantai pendek peptida. Sebagian besar peptida akan masuk ke otak bersama darah, sedangkan sisanya keluar bersama urin. Di otak, senyawa ini ditangkap sebagai opioid yang berfungsi mirip morfin sehingga anak autis akan bertingkah seperti sedang sakaw atau berada di dunianya sendiri.
Penggunaan gula pasir/tebu pada pembuatan biskuit dapat diganti dengan gula aren dan susu sapi dapat diganti dengan susu kedelai. Gula aren memiliki nilai indeks glikemik yang lebih rendah yaitu 35, sementara gula pasir memiliki indeks glikemik 58. Penggunaan gula aren dapat mencegah kenaikan gula darah secara cepat sehingga tidak memicu perilaku hiperaktif pada anak autis, sedangkan susu kedelai tidak mengandung kasein sehingga dapat dicerna oleh anak autis.
Pembuatan biskuit non gluten baik dari tepung ubi jalar, sorgum, dan/atau kacang tanah sebagai bahan utama dan mengganti penambahan gula pasir dengan gula aren dan susu sapi dengan susu kedelai dapat menjadi produk diversifikasi pangan yang aman dan bergizi bagi anak penyandang autis.