3 Mahasiswa ITB Buat Alat Siram Tanaman dan Alat Ukur Nutrisi Hidroponik Berbasis IOT

Mahasiswa ITB

INISUMEDANG.COM – Upaya membantu petani dalam memudahkan penyiraman tanaman dan mengatur PH hidroponik, Tiga mahasiswa STEI (Sekolah Teknik Elektro dan Informatika) Institut Teknologi Bandung (ITB) melaksanakan penelitian Alat Ukur Pertanian Berbasis Konsep internet of things (IOT). Alat ini nantinya bisa dipakai untuk mengatur jadwal penyiraman tanaman dengan cara online dan menghitung usia tanaman serta usia panen tanaman dengan Aplikasi Kebun FKGG.

Internet Of  Things (IOT) Implementator dari Lab STEI ITB, Fryma mengatakan awalnya penelitian ini bagian dari PPM (Program Pengabdian Masyarakat) kemudian mengajukan proposal ke lembaga dan akhirnya disetujui untuk membuat proyek alat pengatur siram tanaman dan pengatur kadar PH hidroponik. Yang kemudian, penelitian ini menjadi bahan pembuatan skripsi oleh 3 orang mahasiswa STEI ITB, diantaranya; Anastasia, Jacelyn, dan Edwin. Ketiganya mahasiswa Semester 8, pada Fakultas STEI, Jurusan STI (sistem dan Teknologi Informasi).

“Jadi nantinya ketiga mahasiswa ini yang akan bertanggung jawab dalam kinerja alat ini untuk dijadikan bahan skripsi. Untuk Anastasia meneliti Dosing Nutrisi Otomatis tanaman Hidroponik, Jacelyn untuk aplikasi FKGG, dan Edwin alat penyiram tanaman otomatis. Nanti, setelah alat prototype ini berfungsi dengan baik, maka sesuai arahan dosen pembimbing bisa di sempurnakan menjadi alat bersandar SNI,” katanya, Senin (22/5/2023).

Tiga Mode Pengoperasian Aplikasi FKGG

Sementara itu, salah seorang mahasiswa ITB Anastasia mengatakan, ada Tiga mode dalam pengoperasian aplikasi FKGG ini, yakni mode schedule (dijadwalkan penyiramannya) timer (diatur waktu penyiraman misal dari jam berapa ke jam berapa), dan manual (on off) menyalakan dan mematikan alat dari hp Android.

Ini Baca Juga :  Aplikasi Sapa Diri dan Tetangga, Hasil Karya Kampus ITB

“Jadi ada dua alat yang menjadi objek penelitian yakni Alat Dosing Nutrisi otomatis untuk hidroponik, dan Alat pengairan otomatis. Kemudian aplikasinya untuk mengoperasikan namanya FKGG yang masih dalam tahap prototype,” katanya.

Anastasia menambahkan, dalam satu aplikasi bisa mengatur 2 kali alat kerja. Pertama dosing nutrisi otomatis yang bisa mengatur alat ukur PH hidroponik dan alat sensor hidroponik. Sehingga, jika kadar PH nya turun maka bisa ditambahkan nutrisi sesuai kebutuhan. Termasuk jika alat di sensor menunjukan PH naik maka bisa ditambahkan vitamin atau cairan AB Mix.

Sementara untuk alat penyiram otomatis mengubah penyiraman konvensional (tradisional) dengan berbasis IT menggunakan HP. Sehingga, petani bisa menyiram tanaman dari rumah atau tidak harus ke kebun.

“Intinya, penelitian kami lebih kepada bagaimana alat itu bekerja dengan baik, ketahanan alatnya dan faktor faktor yang memengaruhi alat kerja. Misalnya koneksi internet dan faktor alam lain. Sehingga, proyek penelitian kami bukan ke meningkatnya jumlah produksi tapi lebih kepada efisiensi waktu petani dalam merawat tanamannya,” ujarnya.

Program Pengabdian Kepada Masyarakat

Seperti diketahui, penelitian ini awalnya program PPM Dari LPPM ITB. Dimana berupa program pengabdian kepada masyarakat yang kemudian mengusulkan suatu proposal untuk mengimplementasikan sistem Smart farming ke lembaga. Dimana sistem Smart farming ini diwujudkan dalam bentuk alat berupa pengairan otomatis dan juga pemberian browsing nutrisi secara otomatis untuk hidroponik. Sekaligus aplikasi customnya agar bisa digunakan oleh petani.

Ini Baca Juga :  Kelompok Petani di Rancakalong, Sumedang Dilatih Pengenalan Digitalisasi Pertanian

“Jadi diharapkan alat ini dapat membantu atau meringankan pekerjaan petani sekaligus meningkatkan produktivitas petani. Sehingga petani dapat secara tidak langsung mungkin bisa lepas tangan tidak harus langsung ke kebun untuk melakukan penyiraman. Tetapi sudah terjadwal secara otomatis oleh sistem. Kemudian selain itu bisa mencatat tanaman yang ditanam mulai usia hingga masa panen,” katanya.

Selain itu untuk memantau Debit air yang digunakan selama menyiram tanaman. Kemudian yang kedua alat nutrisi browsing otomatis untuk hidroponik ini berfungsi untuk mengontrol dan memonitoring nutrisi pada tangki air di hidroponik. Tujuannya agar nutrisi yang ada itu tetap terjaga dan secara konsisten stabil.

“Tujuannya supaya nanti nutrisi untuk tanaman itu tetap maksimal dan optimal. Alat ini nanti bakal terus membaca sensor, dia bakal update nilai sensornya berupa nilai PPM dan juga nilai ph air. Kemudian secara berkala bakal menambahkan pupuk berupa AB mix atau PH Booster sesuai kondisinya. Kalau misalnya PPM-nya kurang, nanti ditambahkan bubuk AB mix. Kemudian kalau misalnya ph nya terlalu tinggi nanti bakal dikasih PH booster,” katanya.

Ini Baca Juga :  Koramil Cimanggung Jadi Instruktur LDKS Osis SMA PGRI Parakanmuncang Sumedang

Biaya Pembuatan Alat

Sementara untuk biaya sendiri, pembuatan alat penyiram tanaman otomatis berupa prototyle ini memerlukan budget Rp4 juta dan alat ukur Ph, memerlukan biaya Rp6juta.

“Namanya juga masih penelitian, jadi masih berbentuk prototype. Gak tahu kalau sudah jadi permanen yang dijual komersial atau diperbanyak karena harus melakukan penelitian lanjutan,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Petani Gunung Geulis Saepudin berharap penelitian ini jangan sebatas cara atau alat untuk membuat skripsi saja. Melainkan harus ada keberlanjutan dan bisa dimanfaatkan oleh petani. Memang kendalanya ada di alat yang harus memakan biaya besar, namun jika dibantu oleh anggaran pemerintah dan menjadi program jangka panjang Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sumedang. Sebab, selama ini pemerintah hanya menganggarkan bantuan bibit Pertanian dan pupuk tanpa ada bantuan alat pertanian berbasis IOT.

“Kalau ini dilaksanakan dan bisa disebarluaskan ke Petani di Sumedang, saya kira petani di Sumedang akan melek IT dan menjadi percontohan petani berbasis IOT. Dan ini akan menjadi pilot proyek atau percontohan bagi daerah lain di Indonesia. Kenapa demikian karena sebetulnya di Sumedang khususnya Jatinangor itu banyak potensi kalangan akademisi dan peneliti namun kurang diperhatikan,” tandasnya.